Jumat, 22 Mei 2015

Beras Plastik, Bir, Beras Analog, Miras dan Beras Palsu

Setelah tak lagi bisa menjual minuman beralkohol dan bir pasca diterapkannya regulasi larangan menjual bir di warung-warung kecil, kini pedagang kembali diresahkan dampak peredaran beras plastik di pasaran. Kekuatiran pedagang, --sama halnya dengan kekuatiran berlebihan dampak penjualan bir bagi generasi muda--, jangan-jangan Menteri Perdagangan Rachmad Gobel bakal melarang penjualan beras di warung kecil tetapi hanya boleh dijual di supermarket dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari peredaran beras plastik.

Tidak seperti biasanya, Bu Rohaini datang ke warung saya pagi-pagi. Raut muka ibu lima orang anak yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan ini tampak gelisah.

“Pak....Pak berasmu aman kan, bukan beras plastik ? ” katanya.

Setelah ramai razia bir dan minuman beralkohol di toko kelontong, orang di pasar tradisional berisik ngobrolin beras plastik. Minggu-minggu ini, semua koran mengangkat isu beras plastik yang awalnya dilaporkan seorang konsumen, Dewi Septiani.

Bu Dewi melaporkan beras yang diduga dari plastik itu tak dapat dimasak seperti beras pada umumnya. Ia menyebut hasil masakannya cenderung keras, tapi lengket seperti ketan. Ia mengaku membeli beras sebanyak enam liter pada Minggu, 17 Mei 2015. Seliter beras harganya mencapai Rp 8 ribu.

Laporan Ibu Dewi ini mendapatkan akhirnya mendapatkan respon dari beberapa pihak, termasuk Menteri Perdagangan Rachmad Gobel juga angkat suara mengenai masuknya beras plastik. Pihaknya menyatakan bahwa beras plastik ialah illegal market. Hingga kemudian kemarin, Kamis (21/05), polisi menyegel salah satu toko milik Sembiring yang diduga menjual beras berbahan plastik. Sampai saat ini, status Sembiring masih sebagai saksi saja.

Benar atau tidaknya peredaran beras plastik yang menurut salah satu penelitian dari Laboratorium PT Sucofindo, beras plastik mengandung bahan spektrum folifenil klorida, senyawa ini biasa digunakan dalam pembuatan polimer pipa, kabel, lantai dan kebanyakan industri, kita berharap adanya kepastian dari pihak terkait yang mengawasi tata niaga beras. Jangan sampai konsumen, yang sudah dibebani kebutuhan hidup, terkena dampak atas penjualan beras yang tidak sehat.

Kepastian benar atau tidaknya peredaran beras plastik juga dibutuhkan agar tidak muncul keresahan yang kemudian menyebabkan turunnya omset pedagang beras di warung kecil.

Bu Nyoto, pelanggan lainnya, suka bercanda tetapi serius. “Sejak beras harganya naik, saya suka beli beras plastik. Saya sekarang beli beras eceran dan dibungkus dalam tas plastik bukan karung yang terbuat dari goni, “

Seharusnya pemerintah, kata Bu Nyoto, juga harus memikirkan nasib rakyat kecil yang membutuhkan beras berkualitas baik, murah dan sehat. Sehingga dengan beras yang sehat, maka anak-anak muda juga sehat.

Dalam ilmu dagang, konsumen ialah raja. Jikalau “sang raja” gelisah, maka pedagang juga ikut muram. Beberapa agen beras hingga pedagang eceran beras pun “sambat” karena sejak berita itu penjualan turun.

“Banyak pembeli yang memilih pergi ke minimarket dan supermarket karena takut beli beras di warung, “ kata Darman, rekan sebelah toko saya juga penjual beras.

Apalagi sejak munculnya beras plastik, banyak razia dari petugas ke toko kecil. Padahal sebelum menjadi Presiden, Pak Jokowi suka blusukan ke pedagang kecil dan pasar tradisional. Pendekatan yang dibangun pemerintah saat ini seakan kembali ke pendekatan razia dibandingkan model blusukan yang menentramkan keadaan.

Setelah regulasi larangan menjual bir, banyak razia petugas ke toko kecil yang masih menjual bir. Beberapa pedagang lain sudah mengirimkan surat protes akan terbitnya regulasi ini karena dianggap mematikan perekonomian pedagang kecil. Namun Presiden Jokowi tetap memberikan respon atas surat keberatan kami : razia minuman beralkohol di beberapa tempat terus berjalan.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang isinya melarang penjualan bir di seluruh pedagang tradisional tidak sesuai dengan semangat revolusi mental Pak Jokowi yang melindungi nasib wong cilik. Peraturan yang dibuat oleh Menteri Rachmad Gobel lebih berpihak kepada supermarket dan hypermarket yang tetap diperbolehkan menjual bir.

Sejak empat tahun lalu, minuman keras memang menjadi pusat perhatian. Banyak korban jiwa meninggal akibat minuman oplosan. Itu belum termasuk maraknya peredaran alkohol illegal yang beredar di pasaran.  Oplosan dan alkohol illegal ini diperjualkan tanpa adanya pengawasan dari Departemen Kesehatan yang beresiko tinggi bagi kesehatan jika dikonsumsi oleh manusia.

Beban hidup masyarakat yang tinggi menyebabkan mereka memilih oplosan, minuman tradisional dan alkohol illegal untuk dikonsumsi karena harganya jauh lebih murah ketimbang minuman beralkohol dalam pengawasan. Adanya beban hidup kemudian ditambah konsumsi miras tanpa pengawasan secara berlebihan memicu kasus-kasus kriminalitas, seperti perkelahian dan pemerkosaan.

Seharusnya jika untuk kepentingan melindungi generasi muda perlu dibuat aturan khusus orang mabuk karena bisa merugikan kepentingan umum , bukan justru melarang pedagang untuk menjual bir yang justru  telah melanggar HAM dan merampas hak pedagang kecil untuk berusaha dan berpenghidupan yang layak. Apalagi pelarangan menjual bir justru akan memicu perdagangan gelap minuman beralkohol, seperti oplosan.  

Juga tidak pernah dijumpai konsumsi bir sebagai pilihan seseorang untuk mabuk. Minum bir bukanlah menjadi pilihan utama jika seseorang, baik itu yang muda juga orang dewasa untuk mabuk. Bir seperti jamu pelancar kencing.

Bir sendiri memiliki kandungan air 93 persen dan mengandung kadar alkohol lebih rendah dibandingkan ketan tape, yang juga banyak dikonsumsi dan dijual bebas.

Sebelum beras plastik, sejak tahun 2012, IPB mengenalkan beras analog yang terbuat dari singkong. Semoga saja tidak sampai kemudian muncul istilah beras palsu (untuk menyebut beras analog) yang berdasarkan riset lebih menyehatkan dibandingkan beras pada umumnya. Halnya dengan bir, yang terabaikan kebaikannya bagi kesehatan, karena “diciptakan” oleh kelompok tertentu seolah-olah sama dengan miras yang pantas dimusuhi karena efeknya bagi kesehatan.  


Semoga saja tidak lantas muncul kegaduhan aturan : beras hanya boleh dijual di supermarket !

Rabu, 06 Mei 2015

Ancaman Miras Oplosan

Oleh : Farouk Muhammad, Wakil Ketua DPD

Memasuki pengujung 2014 dan tahun ini bangsa kita dikejutkan oleh berita jatuhnya banyak korban akibat menenggak minuman keras (miras) oplosan. Pada saat yang hampir bersamaan, korban meninggal, cacat, dan keracunan muncul hampir merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kotamadya Yogyakarta, Serang, dan beberapa kota lain.

Di tiga kotamadya di Jawa Barat, yakni di Depok, Sumedang, dan Garut, tercatat dalam satu pekan terdapat 125 korban miras oplosan dengan 28 orang di antaranya meninggal dunia. Dari angka tersebut kasus terberat terdapat di Sumedang, dengan 101 korban sakit dan 10 korban jiwa. Di Garut terdapat kakak-beradik yang terenggut nyawanya. Para korban kebanyakan berusia 15 sampai 22 tahun, dengan korban termuda berusia 11 tahun. Angka-angka ini masih terus bertambah sampai saat ini.

Harus dipahami bahwa miras oplosan bukanlah sembarang miras. Ia berbeda dengan miras beralkohol legal yang produksinya diawasi oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Walaupun alkohol sudah berbahaya bagi kesehatan, miras legal masih memiliki taraf keamanan untuk dikonsumsi. Peredarannya pun diawasi dengan disertai pajak tinggi. Sebaliknya miras oplosan adalah minuman beralkohol yang tidak tercatat produksinya pada BPOM, dibuat sendiri oleh konsumen atau melalui bengkel gelap (bootlegging), dan dipasarkan secara gelap.

Miras oplosan di pasar gelap yang di beberapa daerah dikenal dengan nama Cherrybell itu biasanya merupakan oplosan dari metanol dengan kandungan alkohol 90 persen, obat nyamuk dan suplemen tertentu seperti minuman penambah tenaga, atau minuman bersoda. Sering kali penjual juga menambahkan pewarna dari larutan pembersih lantai atau tiner cat. Di Jawa Barat minuman ini dapat dibeli di toko jamu, sedangkan di Yogyakarta terdapat penjualan serupa di area festival rakyat sekaten. Miras oplosan tak saja dikemas dengan botol plastik bekas, tapi juga dijual dengan botol bekas minuman sebagai minuman palsu bermerek.

Ini adalah fenomena gunung es. Para korban kebanyakan dari golongan bawah seperti tukang ojek, pengangguran, buruh bangunan, pelajar sekolah, dan sopir bus yang tidak mampu membeli miras legal. Mereka membeli miras oplosan tidak saja karena faktor harganya yang murah, tapi juga ada beban hidup dan ekonomi.

Ketika menghadapi persoalan ekonomi dan pekerjaan yang berat, seseorang dengan kontrol diri yang lemah akan melihat miras oplosan sebagai pelarian dari kenyataan hidup. Rasa frustrasi adalah penyumbang utama munculnya perilaku menyimpang (Agnew, 1992). Ketika seseorang frustrasi, maka kontrol diri akan melemah dan lari ke hedonisme.

Kondisi ini juga terlihat dari latar belakang usia korban. Di Garut, misalnya, korban terbanyak berusia 15-22 tahun yang masih membutuhkan dukungan referensi kepatutan (role model). Pada usia labil, ketika seseorang menghadapi beban ekonomi yang tidak bisa diselesaikan, kontrol diri akan melemah.

Miras seolah-oleh menjadi jawaban sesaat untuk melupakan beban hidup. Di sisi lain, tuntutan biaya hidup terus membengkak. Dengan rentang korban yang berusia muda sebetulnya bangsa kita sedang menghadapi ancaman perusakan generasi.

Di saat yang bersamaan, kontrol sosial masyarakat kita sedang melemah karena euforia kebebasan reformasi. Dalam bahasa Merton (1949), masyarakat kita sedang kebingungan (anomie). Kita sering menyebut diri kita sebagai bangsa timur yang religius dan beradat, tapi maraknya miras oplosan menunjukkan sebetulnya telah terjadi pembiaran.

Selama ini masyarakat dan negara seolah berpangku tangan ketika ada kegiatan minum bersama miras oplosan di sudut perumahan kita atau lokasi yang menjual atau memproduksi miras oplosan. Ketika kita menghadapi krisis kehidupan, warga kita bergerak sendiri untuk bertahan hidup dan mengabaikan ada mereka yang membutuhkan kontrol sosial seperti para orang muda yang menjadi korban miras oplosan.

Menggugat negara
Kondisi kebingungan ini akan menguat bila masyarakat dan negara gagal menegakkan konformitas norma ideal. Dalam kondisi ini, masyarakat kita secara klasik akan menunjuk pada dua reaksi, yakni penguatan moral melalui kaidah agama dan penegakan hukum oleh kepolisian melalui razia. Namun, baik agama maupun hukum positif tidak dapat berdiri sendiri. Hukum adalah penguat dari nilai objektif kesopanan atau nilai komunitas, dan nilai subjektif yang berupa nilai pribadi dan agama dan nilai komunitas (Sudikno Mertokusumo, 1996).

Sejarah pelarangan alkohol (Alcohol Prohibition) di Amerika Serikat pada 1920-1933 menunjukkan, pelarangan hanya akan memunculkan konsekuensi tak terduga (unintended consequences), seperti mafia, subkultur, konsumsi berlebihan, dan pasar gelap (Ermolaeva dan Ross, 2011). Alih-alih memunculkan konformitas, pelarangan semata malah akan memunculkan perlawanan (rebellion) dari mereka yang menolak (Merton, 1949). Ironisnya, biaya memerangi konsekuen tak terduga tersebut bisa membengkak tanpa membawa hasil. Amerika Serikat menghabiskan 13,4 juta dolar AS pada masa itu.

Kelompok menyimpang dapat muncul karena seringkali mereka mengalami eksklusi sosial, yakni tidak mendapat tempat di masyarakat dan diabaikan negara. Di sinilah peran negara menjadi krusial, yakni menjamin proses kontrol sosial melalui kebijakannya. Peran negara dapat difokuskan melalui tiga hal: perluasan lapangan kerja yang layak, pendidikan, dan penguatan masyarakat komunitarian.

Perluasan lapangan kerja disertai dengan standar upah baik akan membuat pekerja dapat mengakses jenis hiburan lain yang lebih berkualitas. Negara dapat berperan tak melulu melalui pendekatan legal seperti razia miras oplosan, tapi juga menciptakan hiburan yang sehat dan murah. Negara dan masyarakat pemberi kerja, dalam konteks ini wajib memikirkan bagaimana rakyat dapat sejahtera secara immaterial agar mereka tidak mencari hiburan menyimpang.

Di negara-negara maju Eropa Barat, kegiatan akhir pekan untuk relaksasi bahkan telah menjadi komponen renumerasi yang ditawarkan pemberi kerja. Kondisi kerja seperti ini muncul karena adanya kebijakan negara.

Saat ini juga mendesak diperlukan pendidikan karakter atas konsumsi hiburan yang bertanggung jawab atau "hiburan beretika" (Feldman, 2004). Bersenang-senang adalah hak individu, tapi ia juga harus dijalankan dengan kesadaran untuk tidak mencederai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan kesehatan semata menjadi tidak efektif, sebab para penenggak miras oplosan tahu betul minuman mereka berbahaya bagi kesehatan.

Namun, justru karena itu mereka menambahkan metanol atau tiner ke dalam miras mereka. Apalagi bila seseorang menenggak miras karena ingin dianggap "berani" atau "keren" sebagai bagian dari pengakuan (konformitas) kelompok penyimpangnya. Seorang individu yang berkarakter akan berpikir untuk tidak menenggak alkohol apalagi miras oplosan.

Pendidikan dalam konteks ini tidak semata dilekatkan pada variabel tahu dan tidak tahu, melainkan pada pendidikan martabat. Kontrol sosial di sini terbentuk melalui pendidikan ke generasi muda. Bentuknya dapat berupa sosialisasi dan internaliasi kepada setiap masyarakat bahwa menenggak miras adalah penyimpangan yang membuat seseorang menjadi tidak bermartabat atau dalam bahasa kekinian "tidaklah keren".

Negara harus menjamin pendidikan yang bermartabat menjadi bagian bahan ajar. Negara harus berbicara tidak saja pada pembangunan sekolah dan memperbanyak jumlah guru, tapi juga pendidikan yang mengajarkan menenggak alkohol bukanlah perbuatan bermartabat. Negara juga harus menjamin keterkesediaan lapangan kerja yang layak agar generasi muda kita bangga berpenghasilan dan profesi baik.

Negara juga harus menjamin kebebasan yang kita nikmati setelah munculnya era reformasi ini tidak hanya bicara soal kebebasan, tapi juga tanggung jawab sosial. Negara dan masyarakat harus proaktif menegakkan praktik publik shaming bagi mereka yang mengonsumsi miras oplosan sebagai usaha preventif.

Perilaku menyimpang tidak terinkubasi secara soliter, melainkan fenomena sosial yang terkait penyimpangan kolektif yang terorganisasi pada kelompok penyimpang—para korban meminum oplosan. Penanganan masalah maraknya miras oplosan tak bisa lagi dirujuk pada kondisi penghukuman individual, melainkan intervensi kolektif.

Diperlukan usaha lebih besar dalam membentuk lingkungan sosial yang sehat secara menyeluruh daripada sekadar razia dan pelarangan moral. Lembaga sipil dibuat proaktif untuk mendidik warga mereka akan bahaya alkohol sebagai upaya preventif (Filstead dan Keller, 1976). Inilah deteksi dini yang kita butuhkan.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/02/11/njlgry27-ancaman-miras-oplosan

Powered By Blogger