Setelah tak lagi bisa menjual minuman
beralkohol dan bir pasca diterapkannya regulasi larangan menjual bir di
warung-warung kecil, kini pedagang kembali diresahkan dampak peredaran beras
plastik di pasaran. Kekuatiran pedagang, --sama halnya dengan kekuatiran
berlebihan dampak penjualan bir bagi generasi muda--, jangan-jangan Menteri
Perdagangan Rachmad Gobel bakal melarang penjualan beras di warung kecil tetapi
hanya boleh dijual di supermarket dengan alasan untuk melindungi masyarakat
dari peredaran beras plastik.
Tidak
seperti biasanya, Bu Rohaini datang ke warung saya pagi-pagi. Raut muka ibu
lima orang anak yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan ini tampak gelisah.
“Pak....Pak
berasmu aman kan, bukan beras plastik ? ” katanya.
Bu
Dewi melaporkan beras yang diduga dari plastik itu tak dapat dimasak seperti
beras pada umumnya. Ia menyebut hasil masakannya cenderung keras, tapi lengket
seperti ketan. Ia mengaku membeli beras sebanyak enam liter pada Minggu, 17 Mei
2015. Seliter beras harganya mencapai Rp 8 ribu.
Laporan
Ibu Dewi ini mendapatkan akhirnya mendapatkan respon dari beberapa pihak,
termasuk Menteri Perdagangan Rachmad Gobel juga angkat suara mengenai masuknya
beras plastik. Pihaknya menyatakan bahwa beras plastik ialah illegal market. Hingga
kemudian kemarin, Kamis (21/05), polisi menyegel salah satu toko milik Sembiring
yang diduga menjual beras berbahan plastik. Sampai saat ini, status Sembiring
masih sebagai saksi saja.
Benar
atau tidaknya peredaran beras plastik yang menurut salah satu penelitian dari Laboratorium
PT Sucofindo, beras plastik mengandung bahan spektrum folifenil klorida,
senyawa ini biasa digunakan dalam pembuatan polimer pipa, kabel, lantai dan
kebanyakan industri, kita berharap adanya kepastian dari pihak terkait yang
mengawasi tata niaga beras. Jangan sampai konsumen, yang sudah dibebani
kebutuhan hidup, terkena dampak atas penjualan beras yang tidak sehat.
Kepastian
benar atau tidaknya peredaran beras plastik juga dibutuhkan agar tidak muncul
keresahan yang kemudian menyebabkan turunnya omset pedagang beras di warung
kecil.
Bu
Nyoto, pelanggan lainnya, suka bercanda tetapi serius. “Sejak beras harganya
naik, saya suka beli beras plastik. Saya sekarang beli beras eceran dan
dibungkus dalam tas plastik bukan karung yang terbuat dari goni, “
Seharusnya
pemerintah, kata Bu Nyoto, juga harus memikirkan nasib rakyat kecil yang
membutuhkan beras berkualitas baik, murah dan sehat. Sehingga dengan beras yang
sehat, maka anak-anak muda juga sehat.
Dalam
ilmu dagang, konsumen ialah raja. Jikalau “sang raja” gelisah, maka pedagang
juga ikut muram. Beberapa agen beras hingga pedagang eceran beras pun “sambat”
karena sejak berita itu penjualan turun.
“Banyak
pembeli yang memilih pergi ke minimarket dan supermarket karena takut beli
beras di warung, “ kata Darman, rekan sebelah toko saya juga penjual beras.
Apalagi
sejak munculnya beras plastik, banyak razia dari petugas ke toko kecil. Padahal
sebelum menjadi Presiden, Pak Jokowi suka blusukan ke pedagang kecil dan pasar
tradisional. Pendekatan yang dibangun pemerintah saat ini seakan kembali ke pendekatan
razia dibandingkan model blusukan yang menentramkan keadaan.
Setelah
regulasi larangan menjual bir, banyak razia petugas ke toko kecil yang masih
menjual bir. Beberapa pedagang lain sudah mengirimkan surat protes akan
terbitnya regulasi ini karena dianggap mematikan perekonomian pedagang kecil. Namun
Presiden Jokowi tetap memberikan respon atas surat keberatan kami : razia
minuman beralkohol di beberapa tempat terus berjalan.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang
isinya melarang penjualan bir di seluruh pedagang
tradisional tidak
sesuai dengan semangat revolusi mental Pak Jokowi yang melindungi nasib wong
cilik. Peraturan yang dibuat oleh Menteri Rachmad Gobel lebih berpihak kepada
supermarket dan hypermarket yang tetap diperbolehkan menjual bir.
Sejak empat tahun lalu, minuman keras memang menjadi pusat perhatian.
Banyak korban jiwa meninggal akibat minuman oplosan. Itu belum termasuk
maraknya peredaran alkohol illegal yang beredar di pasaran. Oplosan dan alkohol illegal ini diperjualkan
tanpa adanya pengawasan dari Departemen Kesehatan yang beresiko tinggi bagi
kesehatan jika dikonsumsi oleh manusia.
Beban hidup masyarakat yang tinggi menyebabkan mereka memilih oplosan,
minuman tradisional dan alkohol illegal untuk dikonsumsi karena harganya jauh
lebih murah ketimbang minuman beralkohol dalam pengawasan. Adanya beban hidup
kemudian ditambah konsumsi miras tanpa pengawasan secara berlebihan memicu
kasus-kasus kriminalitas, seperti perkelahian dan pemerkosaan.
Seharusnya jika untuk kepentingan melindungi generasi muda perlu dibuat aturan
khusus orang mabuk karena bisa merugikan kepentingan umum , bukan justru
melarang pedagang untuk menjual bir yang justru
telah melanggar HAM dan merampas hak pedagang kecil untuk
berusaha dan berpenghidupan yang layak. Apalagi pelarangan
menjual bir justru akan memicu perdagangan gelap minuman beralkohol, seperti
oplosan.
Juga tidak pernah dijumpai konsumsi bir sebagai pilihan seseorang untuk
mabuk. Minum bir bukanlah menjadi pilihan utama jika seseorang, baik itu yang
muda juga orang dewasa untuk mabuk. Bir seperti jamu pelancar kencing.
Bir sendiri memiliki kandungan air 93 persen dan mengandung kadar
alkohol lebih rendah dibandingkan ketan tape, yang juga banyak dikonsumsi dan
dijual bebas.
Sebelum beras plastik, sejak tahun 2012, IPB mengenalkan beras analog
yang terbuat dari singkong. Semoga saja tidak sampai kemudian muncul istilah
beras palsu (untuk menyebut beras analog) yang berdasarkan riset lebih
menyehatkan dibandingkan beras pada umumnya. Halnya dengan bir, yang terabaikan
kebaikannya bagi kesehatan, karena “diciptakan” oleh kelompok tertentu
seolah-olah sama dengan miras yang pantas dimusuhi karena efeknya bagi
kesehatan.
Semoga saja tidak lantas muncul kegaduhan aturan : beras hanya boleh
dijual di supermarket !