Jumat, 22 Mei 2015

Beras Plastik, Bir, Beras Analog, Miras dan Beras Palsu

Setelah tak lagi bisa menjual minuman beralkohol dan bir pasca diterapkannya regulasi larangan menjual bir di warung-warung kecil, kini pedagang kembali diresahkan dampak peredaran beras plastik di pasaran. Kekuatiran pedagang, --sama halnya dengan kekuatiran berlebihan dampak penjualan bir bagi generasi muda--, jangan-jangan Menteri Perdagangan Rachmad Gobel bakal melarang penjualan beras di warung kecil tetapi hanya boleh dijual di supermarket dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari peredaran beras plastik.

Tidak seperti biasanya, Bu Rohaini datang ke warung saya pagi-pagi. Raut muka ibu lima orang anak yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan ini tampak gelisah.

“Pak....Pak berasmu aman kan, bukan beras plastik ? ” katanya.

Setelah ramai razia bir dan minuman beralkohol di toko kelontong, orang di pasar tradisional berisik ngobrolin beras plastik. Minggu-minggu ini, semua koran mengangkat isu beras plastik yang awalnya dilaporkan seorang konsumen, Dewi Septiani.

Bu Dewi melaporkan beras yang diduga dari plastik itu tak dapat dimasak seperti beras pada umumnya. Ia menyebut hasil masakannya cenderung keras, tapi lengket seperti ketan. Ia mengaku membeli beras sebanyak enam liter pada Minggu, 17 Mei 2015. Seliter beras harganya mencapai Rp 8 ribu.

Laporan Ibu Dewi ini mendapatkan akhirnya mendapatkan respon dari beberapa pihak, termasuk Menteri Perdagangan Rachmad Gobel juga angkat suara mengenai masuknya beras plastik. Pihaknya menyatakan bahwa beras plastik ialah illegal market. Hingga kemudian kemarin, Kamis (21/05), polisi menyegel salah satu toko milik Sembiring yang diduga menjual beras berbahan plastik. Sampai saat ini, status Sembiring masih sebagai saksi saja.

Benar atau tidaknya peredaran beras plastik yang menurut salah satu penelitian dari Laboratorium PT Sucofindo, beras plastik mengandung bahan spektrum folifenil klorida, senyawa ini biasa digunakan dalam pembuatan polimer pipa, kabel, lantai dan kebanyakan industri, kita berharap adanya kepastian dari pihak terkait yang mengawasi tata niaga beras. Jangan sampai konsumen, yang sudah dibebani kebutuhan hidup, terkena dampak atas penjualan beras yang tidak sehat.

Kepastian benar atau tidaknya peredaran beras plastik juga dibutuhkan agar tidak muncul keresahan yang kemudian menyebabkan turunnya omset pedagang beras di warung kecil.

Bu Nyoto, pelanggan lainnya, suka bercanda tetapi serius. “Sejak beras harganya naik, saya suka beli beras plastik. Saya sekarang beli beras eceran dan dibungkus dalam tas plastik bukan karung yang terbuat dari goni, “

Seharusnya pemerintah, kata Bu Nyoto, juga harus memikirkan nasib rakyat kecil yang membutuhkan beras berkualitas baik, murah dan sehat. Sehingga dengan beras yang sehat, maka anak-anak muda juga sehat.

Dalam ilmu dagang, konsumen ialah raja. Jikalau “sang raja” gelisah, maka pedagang juga ikut muram. Beberapa agen beras hingga pedagang eceran beras pun “sambat” karena sejak berita itu penjualan turun.

“Banyak pembeli yang memilih pergi ke minimarket dan supermarket karena takut beli beras di warung, “ kata Darman, rekan sebelah toko saya juga penjual beras.

Apalagi sejak munculnya beras plastik, banyak razia dari petugas ke toko kecil. Padahal sebelum menjadi Presiden, Pak Jokowi suka blusukan ke pedagang kecil dan pasar tradisional. Pendekatan yang dibangun pemerintah saat ini seakan kembali ke pendekatan razia dibandingkan model blusukan yang menentramkan keadaan.

Setelah regulasi larangan menjual bir, banyak razia petugas ke toko kecil yang masih menjual bir. Beberapa pedagang lain sudah mengirimkan surat protes akan terbitnya regulasi ini karena dianggap mematikan perekonomian pedagang kecil. Namun Presiden Jokowi tetap memberikan respon atas surat keberatan kami : razia minuman beralkohol di beberapa tempat terus berjalan.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang isinya melarang penjualan bir di seluruh pedagang tradisional tidak sesuai dengan semangat revolusi mental Pak Jokowi yang melindungi nasib wong cilik. Peraturan yang dibuat oleh Menteri Rachmad Gobel lebih berpihak kepada supermarket dan hypermarket yang tetap diperbolehkan menjual bir.

Sejak empat tahun lalu, minuman keras memang menjadi pusat perhatian. Banyak korban jiwa meninggal akibat minuman oplosan. Itu belum termasuk maraknya peredaran alkohol illegal yang beredar di pasaran.  Oplosan dan alkohol illegal ini diperjualkan tanpa adanya pengawasan dari Departemen Kesehatan yang beresiko tinggi bagi kesehatan jika dikonsumsi oleh manusia.

Beban hidup masyarakat yang tinggi menyebabkan mereka memilih oplosan, minuman tradisional dan alkohol illegal untuk dikonsumsi karena harganya jauh lebih murah ketimbang minuman beralkohol dalam pengawasan. Adanya beban hidup kemudian ditambah konsumsi miras tanpa pengawasan secara berlebihan memicu kasus-kasus kriminalitas, seperti perkelahian dan pemerkosaan.

Seharusnya jika untuk kepentingan melindungi generasi muda perlu dibuat aturan khusus orang mabuk karena bisa merugikan kepentingan umum , bukan justru melarang pedagang untuk menjual bir yang justru  telah melanggar HAM dan merampas hak pedagang kecil untuk berusaha dan berpenghidupan yang layak. Apalagi pelarangan menjual bir justru akan memicu perdagangan gelap minuman beralkohol, seperti oplosan.  

Juga tidak pernah dijumpai konsumsi bir sebagai pilihan seseorang untuk mabuk. Minum bir bukanlah menjadi pilihan utama jika seseorang, baik itu yang muda juga orang dewasa untuk mabuk. Bir seperti jamu pelancar kencing.

Bir sendiri memiliki kandungan air 93 persen dan mengandung kadar alkohol lebih rendah dibandingkan ketan tape, yang juga banyak dikonsumsi dan dijual bebas.

Sebelum beras plastik, sejak tahun 2012, IPB mengenalkan beras analog yang terbuat dari singkong. Semoga saja tidak sampai kemudian muncul istilah beras palsu (untuk menyebut beras analog) yang berdasarkan riset lebih menyehatkan dibandingkan beras pada umumnya. Halnya dengan bir, yang terabaikan kebaikannya bagi kesehatan, karena “diciptakan” oleh kelompok tertentu seolah-olah sama dengan miras yang pantas dimusuhi karena efeknya bagi kesehatan.  


Semoga saja tidak lantas muncul kegaduhan aturan : beras hanya boleh dijual di supermarket !

Rabu, 06 Mei 2015

Ancaman Miras Oplosan

Oleh : Farouk Muhammad, Wakil Ketua DPD

Memasuki pengujung 2014 dan tahun ini bangsa kita dikejutkan oleh berita jatuhnya banyak korban akibat menenggak minuman keras (miras) oplosan. Pada saat yang hampir bersamaan, korban meninggal, cacat, dan keracunan muncul hampir merata di Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kotamadya Yogyakarta, Serang, dan beberapa kota lain.

Di tiga kotamadya di Jawa Barat, yakni di Depok, Sumedang, dan Garut, tercatat dalam satu pekan terdapat 125 korban miras oplosan dengan 28 orang di antaranya meninggal dunia. Dari angka tersebut kasus terberat terdapat di Sumedang, dengan 101 korban sakit dan 10 korban jiwa. Di Garut terdapat kakak-beradik yang terenggut nyawanya. Para korban kebanyakan berusia 15 sampai 22 tahun, dengan korban termuda berusia 11 tahun. Angka-angka ini masih terus bertambah sampai saat ini.

Harus dipahami bahwa miras oplosan bukanlah sembarang miras. Ia berbeda dengan miras beralkohol legal yang produksinya diawasi oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Walaupun alkohol sudah berbahaya bagi kesehatan, miras legal masih memiliki taraf keamanan untuk dikonsumsi. Peredarannya pun diawasi dengan disertai pajak tinggi. Sebaliknya miras oplosan adalah minuman beralkohol yang tidak tercatat produksinya pada BPOM, dibuat sendiri oleh konsumen atau melalui bengkel gelap (bootlegging), dan dipasarkan secara gelap.

Miras oplosan di pasar gelap yang di beberapa daerah dikenal dengan nama Cherrybell itu biasanya merupakan oplosan dari metanol dengan kandungan alkohol 90 persen, obat nyamuk dan suplemen tertentu seperti minuman penambah tenaga, atau minuman bersoda. Sering kali penjual juga menambahkan pewarna dari larutan pembersih lantai atau tiner cat. Di Jawa Barat minuman ini dapat dibeli di toko jamu, sedangkan di Yogyakarta terdapat penjualan serupa di area festival rakyat sekaten. Miras oplosan tak saja dikemas dengan botol plastik bekas, tapi juga dijual dengan botol bekas minuman sebagai minuman palsu bermerek.

Ini adalah fenomena gunung es. Para korban kebanyakan dari golongan bawah seperti tukang ojek, pengangguran, buruh bangunan, pelajar sekolah, dan sopir bus yang tidak mampu membeli miras legal. Mereka membeli miras oplosan tidak saja karena faktor harganya yang murah, tapi juga ada beban hidup dan ekonomi.

Ketika menghadapi persoalan ekonomi dan pekerjaan yang berat, seseorang dengan kontrol diri yang lemah akan melihat miras oplosan sebagai pelarian dari kenyataan hidup. Rasa frustrasi adalah penyumbang utama munculnya perilaku menyimpang (Agnew, 1992). Ketika seseorang frustrasi, maka kontrol diri akan melemah dan lari ke hedonisme.

Kondisi ini juga terlihat dari latar belakang usia korban. Di Garut, misalnya, korban terbanyak berusia 15-22 tahun yang masih membutuhkan dukungan referensi kepatutan (role model). Pada usia labil, ketika seseorang menghadapi beban ekonomi yang tidak bisa diselesaikan, kontrol diri akan melemah.

Miras seolah-oleh menjadi jawaban sesaat untuk melupakan beban hidup. Di sisi lain, tuntutan biaya hidup terus membengkak. Dengan rentang korban yang berusia muda sebetulnya bangsa kita sedang menghadapi ancaman perusakan generasi.

Di saat yang bersamaan, kontrol sosial masyarakat kita sedang melemah karena euforia kebebasan reformasi. Dalam bahasa Merton (1949), masyarakat kita sedang kebingungan (anomie). Kita sering menyebut diri kita sebagai bangsa timur yang religius dan beradat, tapi maraknya miras oplosan menunjukkan sebetulnya telah terjadi pembiaran.

Selama ini masyarakat dan negara seolah berpangku tangan ketika ada kegiatan minum bersama miras oplosan di sudut perumahan kita atau lokasi yang menjual atau memproduksi miras oplosan. Ketika kita menghadapi krisis kehidupan, warga kita bergerak sendiri untuk bertahan hidup dan mengabaikan ada mereka yang membutuhkan kontrol sosial seperti para orang muda yang menjadi korban miras oplosan.

Menggugat negara
Kondisi kebingungan ini akan menguat bila masyarakat dan negara gagal menegakkan konformitas norma ideal. Dalam kondisi ini, masyarakat kita secara klasik akan menunjuk pada dua reaksi, yakni penguatan moral melalui kaidah agama dan penegakan hukum oleh kepolisian melalui razia. Namun, baik agama maupun hukum positif tidak dapat berdiri sendiri. Hukum adalah penguat dari nilai objektif kesopanan atau nilai komunitas, dan nilai subjektif yang berupa nilai pribadi dan agama dan nilai komunitas (Sudikno Mertokusumo, 1996).

Sejarah pelarangan alkohol (Alcohol Prohibition) di Amerika Serikat pada 1920-1933 menunjukkan, pelarangan hanya akan memunculkan konsekuensi tak terduga (unintended consequences), seperti mafia, subkultur, konsumsi berlebihan, dan pasar gelap (Ermolaeva dan Ross, 2011). Alih-alih memunculkan konformitas, pelarangan semata malah akan memunculkan perlawanan (rebellion) dari mereka yang menolak (Merton, 1949). Ironisnya, biaya memerangi konsekuen tak terduga tersebut bisa membengkak tanpa membawa hasil. Amerika Serikat menghabiskan 13,4 juta dolar AS pada masa itu.

Kelompok menyimpang dapat muncul karena seringkali mereka mengalami eksklusi sosial, yakni tidak mendapat tempat di masyarakat dan diabaikan negara. Di sinilah peran negara menjadi krusial, yakni menjamin proses kontrol sosial melalui kebijakannya. Peran negara dapat difokuskan melalui tiga hal: perluasan lapangan kerja yang layak, pendidikan, dan penguatan masyarakat komunitarian.

Perluasan lapangan kerja disertai dengan standar upah baik akan membuat pekerja dapat mengakses jenis hiburan lain yang lebih berkualitas. Negara dapat berperan tak melulu melalui pendekatan legal seperti razia miras oplosan, tapi juga menciptakan hiburan yang sehat dan murah. Negara dan masyarakat pemberi kerja, dalam konteks ini wajib memikirkan bagaimana rakyat dapat sejahtera secara immaterial agar mereka tidak mencari hiburan menyimpang.

Di negara-negara maju Eropa Barat, kegiatan akhir pekan untuk relaksasi bahkan telah menjadi komponen renumerasi yang ditawarkan pemberi kerja. Kondisi kerja seperti ini muncul karena adanya kebijakan negara.

Saat ini juga mendesak diperlukan pendidikan karakter atas konsumsi hiburan yang bertanggung jawab atau "hiburan beretika" (Feldman, 2004). Bersenang-senang adalah hak individu, tapi ia juga harus dijalankan dengan kesadaran untuk tidak mencederai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan kesehatan semata menjadi tidak efektif, sebab para penenggak miras oplosan tahu betul minuman mereka berbahaya bagi kesehatan.

Namun, justru karena itu mereka menambahkan metanol atau tiner ke dalam miras mereka. Apalagi bila seseorang menenggak miras karena ingin dianggap "berani" atau "keren" sebagai bagian dari pengakuan (konformitas) kelompok penyimpangnya. Seorang individu yang berkarakter akan berpikir untuk tidak menenggak alkohol apalagi miras oplosan.

Pendidikan dalam konteks ini tidak semata dilekatkan pada variabel tahu dan tidak tahu, melainkan pada pendidikan martabat. Kontrol sosial di sini terbentuk melalui pendidikan ke generasi muda. Bentuknya dapat berupa sosialisasi dan internaliasi kepada setiap masyarakat bahwa menenggak miras adalah penyimpangan yang membuat seseorang menjadi tidak bermartabat atau dalam bahasa kekinian "tidaklah keren".

Negara harus menjamin pendidikan yang bermartabat menjadi bagian bahan ajar. Negara harus berbicara tidak saja pada pembangunan sekolah dan memperbanyak jumlah guru, tapi juga pendidikan yang mengajarkan menenggak alkohol bukanlah perbuatan bermartabat. Negara juga harus menjamin keterkesediaan lapangan kerja yang layak agar generasi muda kita bangga berpenghasilan dan profesi baik.

Negara juga harus menjamin kebebasan yang kita nikmati setelah munculnya era reformasi ini tidak hanya bicara soal kebebasan, tapi juga tanggung jawab sosial. Negara dan masyarakat harus proaktif menegakkan praktik publik shaming bagi mereka yang mengonsumsi miras oplosan sebagai usaha preventif.

Perilaku menyimpang tidak terinkubasi secara soliter, melainkan fenomena sosial yang terkait penyimpangan kolektif yang terorganisasi pada kelompok penyimpang—para korban meminum oplosan. Penanganan masalah maraknya miras oplosan tak bisa lagi dirujuk pada kondisi penghukuman individual, melainkan intervensi kolektif.

Diperlukan usaha lebih besar dalam membentuk lingkungan sosial yang sehat secara menyeluruh daripada sekadar razia dan pelarangan moral. Lembaga sipil dibuat proaktif untuk mendidik warga mereka akan bahaya alkohol sebagai upaya preventif (Filstead dan Keller, 1976). Inilah deteksi dini yang kita butuhkan.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/02/11/njlgry27-ancaman-miras-oplosan

Sabtu, 18 April 2015

Larangan Menjual Bir di Tingkat Pengecer Bagian dari Revolusi Mental ?

Menteri Perdagangan, Rachmad Gobel menyatakan, larangan perdagangan bir di supermarket dan pedagang eceran merupakan bagian dari revolusi mental. "Ini bagian dari revolusi mental. Kita tidak ingin generasi muda memiliki daya tahan tubuh yang lemah karena minum-minuman beralkohol," katanya seperti yang dikutip Kantor Berita Antara, Kamis, 19 Maret 2015.


Semua rakyat Indonesia, termasuk para pedagang kecil eceran yang mengandalkan penghidupannya dari menjual bir tentu tidak setuju dengan mabuk-mabukan. Sebagai bangsa Timur, budaya mabuk sangat ditentang oleh siapa saja. Namun jika pelarangan menjual bir, dianggap memabukkan dan merusak generasi muda, apalagi menyebut larangan itu sebagai bagian dari revolusi mental, tentu kita harus kembali membuka sebuah tulisan yang ditulis oleh Presiden Jokowi di Harian Kompas pada 10 Mei 2014 lalu.

Dalam tulisan Jokowi,--Presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)--, berjudul “Revolusi Mental”;sebelum dilantik dari Presiden Republik Indonesia; negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat, menyebutkan bahwa sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.

Dalam melaksanakan revolusi mental, Jokowi menyentil, konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

Konsep revolusi mental, dimaknai Jokowi sebagai usaha menciptakan sebuah sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi. Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. 

Mengapa regulasi anti bir ini hanya mengijinkan bir dijual di supermarket dan hipermarket ?

#
Istilah revolusi mental, untuk pertama kalinya,  mencuat dalam diskusi di Balai Kartini, Jumat (17/10/2014). Salah satu jawaban datang dari politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Panda Nababan.

Jawaban itu diawali dengan pengenalan organisasi Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK). Panda mempersilakan anggota organisasi itu berdiri. Lalu, dia berkata, "Mereka ini datang dari jauh. Dulu, Pak Jokowi ini seperti mereka."

Berikutnya, Panda mengatakan, "Tapi Pak Jokowi tidak mau menyerah. Dia bekerja, berusaha, hingga sampai seperti saat ini." Menurut Panda, perjalanan Jokowi dari yang semula seperti profil para anggota SMRK tersebut hingga menjadi presiden terpilih merupakan cuplikan dari konsep revolusi mental itu sendiri.

Kami, pedagang kecil juga sama seperti Pak Jokowi, kami bekerja keras untuk menghidupi keluarga dari hasil menjual bir yang legal. 

Setelah terpilih menjadi Presiden, Jokowi kemudian mencanangan gerakan nasional revolusi mental saat menghadiri upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-43 Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) di Silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Senin (1/12/2014).

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi menyatakan ada tiga sasaran dalam revolusi mental Jokowi yang akan diterapkan ke semua birokrasi dalam pemerintahannya. Pertama, merubah mindset cara berpikir dan cara pandang bahwa birokrat yang melayani rakyat yang salah satu cara mengimpelementasinya adalah dalam public service pelayanan publik. Bahwa aparatur sipil negara sebagai representasi dari pemerintahan, hadir setiap rakyat membutuhkan mereka. Kemudian sasaran berikutnya ialah kultur dan budaya.

Kemana saja Bapak ketika kami yang juga telah membayar pajak menjerit akibat regulasi anti bir ini berlaku ? 

#
Setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 tentang larangan menjual bir di minimarket dan pedagang eceran, yang tanpa melibatkan perwakilan pedagang yang juga bagian rakyat Indonesia, banyak pedagang eceran bir kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Mereka takut terkena razia dan membayar sejumlah uang untuk retribusi lainnya yang sudah biasa mereka lakukan sebelum aturan itu ditetapkan.

Gubenur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menyebutkan penerapan aturan ini akan memunculkan mafia perdagangan gelap alkohol. Sedangkan beberapa aktifis dan pengamat sosial juga menyebutkan bahwa penerapan regulasi anti bir ini rawan memunculkan korupsi baru di Indonesia, dimana masih lemah penegakan hukumnya.

Penjual bir yang menjual produk yang diakui oleh Undang-Undang Perdagangan dan diawasi keamanan konsumsi oleh Badan POM, dianggap produk illegal seperti halnya dengan narkotika. Pembeli bir di warung kecil, dianggap sebagai seorang kriminal karena regulasi anti bir.

Bapak Menteri Gobel yang terhormat,

Presiden Jokowi telah memberikan semangat “blusukan” kepada menteri di Kabinetnya sebagai bagian dari revolusi mental. Untuk mengetahui apakah bir itu dianggap sebagai biang keladi mabuk-mabukan dan merusak generasi muda, ada baiknya untuk kembali turun ke jalanan.

Bir, oleh sebagian remaja di Indonesia, bukanlah termasuk pilihan minuman untuk niatan mabuk-mabukan. Bir dengan kandungan alkohol yang rendah hanyalah sebagai minuman orang dewasa yang melepas kepenatan bekerja, menjaga stamina dan kesehatan.

Anak-anak muda lebih memilih mengkonsumsi minuman beralkohol dengan kandungan alkohol tinggi seperti arak, anggur, bahkan oplosan yang dianggap memiliki efek “mabok lebih cepat” namun merusak tubuh karena mengandung racun (methanol).  Generasi muda saat ini lebih mengenal oplosan dibandingkan dengan jenis narkotika yang saat ini sulit didapatkan karena kampanye “mahal” narkotika.
 
Seperti halnya model “Layanan antar barang”, arak eceran maupun oplosan, dalam hitungan menit, sudah disampai ke tangan anak-anak muda. Mengkonsumsi arak dan oplosan dipandang mempunyai efek jantan, --karena sanggup mengkonsumsi alkohol tinggi--.  

Sehingga di kalangan anak-anak muda ada istilah “Minum bir hanyalah untuk kencing saja kurang kuat. Belum pernah ditemukan kasus kematian akibat mengkonsumsi bir.

Gubenur Ahok bilang bir sebenarnya membantu kelancaran saluran pencernaan.

"Orang susah kencing juga disuruh minum bir, baru lancar," ujarnya di Balai Kota, Kamis, 16 April 2015.

#
Kabar Indonesia melarang penjualan minuman beralkohol, terutama bir di minimarket, menggegerkan publik Australia. Banyak calon turis meyakini beleid itu akan memicu penurunan jumlah wisatawan.

Presiden Institut Indonesia, Ross Taylor mengatakan selain aturan Kemendag, adanya RUU usulan Fraksi PPP dan PKS yang ingin memberi hukuman bui bagi konsumen miras lebih mengkhawatirkan dibanding eksekusi mati duo Bali Nine.

"Saya masih yakin akal sehat akan dikedepankan di Indonesia, tapi memang kelompok agama di seluruh Indonesia sekarang sedang mendapatkan momentum kebangkitannya," ujarnya seperti dilansir the Australian, Kamis (16/4).

Publik Negeri Kanguru di laman kantor berita ABC di Facebook juga menyesalkan kalau larangan ini benar-benar disahkan negara.

"Aturan ini bisa menghancurkan perekonomian mereka," kata akun Sarah Manoni.

Akun Facebook Jack Shamoon mencemooh aturan ini. Saat sebagian legislator Indonesia ingin melarang konsumsi alkohol, rokok masih dijual bebas di minimarket. Padahal dua komoditas itu sama-sama membahayakan.

"Bagaimana dengan rokok? Oh ya, mereka mendapatkan uang yang banyak dari perokok berusia 10 tahun," tulis Shamoon.

Sebagai pedagang kecil, yang belum pernah sama sekali melihat Australia, saya hanya kuatir dampaknya kepada rekan-rekan saya di Batam, Bali dan daerah wisata lainnya di Indonesia. Tentu, dampak ini tidak hanya di daerah wisata, daerah lain juga akan terdampak mengingat saat ini banyak wisatawan asing yang berkunjung ke beberapa daerah di Indonesia untuk berbisnis atau melakukan perjalanan panjang mengenal budaya bangsa Indonesia.

Tidak hanya untuk wisatawan asing tentunya, pelarangan menjual bir juga membunuh usaha dari kelompok masyarakat kecil yang menjual bir dalam acara budaya, seperti tayuban dan ritual lainnya seperti Pekong di Batam.

#
Bapak, sebagai salah satu pendukung Presiden Jokowi, saya bingung “Apakah regulasi bir ini termasuk revolusi mental ? “ yang terdapat konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963.  Apakah revolusi mental ini masih menjadi bagian dari Konsep Pancasila dan Kebhinekaan seperti yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa ini?

Atau jangan-jangan, revolusi mental seperti istilah Karl Marx yang pernah menggunakan istilah revolusi mental dalam satu bukunya berjudul Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte yang terbit tahun 1869. Mark menyatakan, bahwa revolusi mental menjadi tujuan dari Gerakan 4 Mei (May Four  Enlightenment Movement ), sebuah gerakan perlawanan rakyat pertama untuk menentang kekuasaan kekaisaran China tahun 1919.

Gerakan ini diparkarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis China Chen Duxiu bersama rekannya Li Dazhao. Istilah“revolusi mental” ditujukan untuk mencuci otak kaum buruh dan petani dalam rangka menentang kekaisaran China. 

Minggu, 12 April 2015

Bir dan Ancaman Kesehatan Generasi Muda

*berbagai sumber

Tahun 2012 silam, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) membuat riset. Isinya menyebutkan ancaman kegemukan pada remaja di Indonesia. Sebanyak 8,6 persen anak dan remaja di Indonesia gemuk telah berada pada kondisi pradiabates.

Pradiabetes merupakan ambang batas seseorang mengalami diabetes. Pradiabetes ditandai dengan penurunan sensitivitas insulin. Apabila sensitivitas tersebut telah hilang, maka seseorang tersebut akan memasuki stase diabetes.

Riset FKUI diatas yang melibatkan 92 anak usia 12 hingga 15 tahun yang mengalami kegemukan, sebanyak 54,3 persen di antaranya perempuan. Riset juga menyebutkan, para anak dan remaja tersebut 71,7 persen-nya mengalami tanda-tanda acanthosis nigricans yaitu kulit yang menebal dan menghitam di tengkuk, ketiak, dan jari-jari.

Pakar gizi klinik Fiastuti Witjaksono menyatakan, obesitas pada anak dan remaja terjadi akibat fenomena obesogenic. Mereka mudah mendapatkan kalori dari makanan, namun sulit untuk mengeluarkannya.Padahal agar terbebas dari kegemukan, jumlah kalori yang masuk harus sama dengan jumlah yang keluar.

Untuk mengurangi kegemukan pada anak dan remaja, imbuh Fiastuti, memang tidak semudah mengurangi kegemukan pada orang dewasa. Pasalnya, anak dan remaja masih dalam masa pertumbuhan.

Pengurangan asupan gizi akan berakibat pertumbuhan yang tidak optimal.

Maka menurutnya, penting untuk melakukan perencanaan makan untuk tumbuh kembang optimal tanpa harus menjadi gemuk. Perencanaan tersebut terdiri dari penentuan jumlah, jenis, dan jadwal makan yang sesuai.

Jumlah kalori harus sesuai dengan kebutuhan yang dipengaruhi jenis kelamin, aktivitas, usia, dan lain-lain. Jenis makanan yang memiliki komposisi seimbang antara karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Dan jadwal makan yang tepat yaitu tiga makanan utama dan dua sampai tiga kali makanan camilan.

Meski anak sudah mengalami kegemukan, jadwal makan tetap harus teratur. Melewatkan waktu makannya justru akan memicunya untuk makan lebih banyak dan menjadi lebih gemuk.

Pola hidup sehat juga mulai berubah. Sebagai contoh, senam kesegaran jasmani di sekolah yang di era tahun 90 an diadakan setiap hari, kini pendidikan di sekolah disibukkan dengan masalah kurikulum baru.

Pada 16 Januari 2015 lalu, Menteri Perdagangan Rachmad Gobel mengeluarkan aturan pelarangan menjual bir di minimarket. Aturan itu dibuat untuk melindungi generasi muda....


Bir adalah minuman hasil fermentasi dari bahan-bahan berpati, misalnya gandum. Setelah difermentasi, bir tidak disuling sehingga alkoholnya tidak terlalu terasa di tenggorokan.

Dibandingkan wine, wiski dan lainnya, bir memiliki kandungan alkohol yang lebih rendah. Bir mengandung 4-5 persen saja. Sedangkan wine, memiliki kandungan alkohol berkisar 8-15 persen. 

Menurut catatan sejarah, bir diperkirakan minuman fermentasi tertua yang pernah dibuat.

"Tidak ada yang tahu pasti kapan bir pertama kali diproduksi," kata Arie Susanto, Brewmaster (ahli racik bir) dari Paulaner Brauhaus, seperti yang dikutip CNN Indonesia.

Ditambahkan dia, beberapa bukti sejarah membuktikan bahwa minuman ini telah menyertai perjalanan panjang peradaban manusia. "Prasasti tanah liat di Babilon, misalnya. Itu menjelaskan dengan rinci resep pembuatan bir di tahun 4.300 Sebelum Masehi," katanya. "Selain itu, bir juga telah dibuat oleh bangsa Tiongkok kuno, Asiria, dan Inka."

Beberapa bir memiliki jumlah kalori yang rendah sebesar 64 kalori per 12 ounce per botol. Bahkan untuk jenis reguler hanya memiliki 100 kalori per 12 ounce per botol. Sebagai perbandingan satu ounce semua jenis minuman yang disuling atau 4 ounce anggur hanya mengandung 100 kalori.

Sedangkan minuman campuran yang dikemas memiliki kalori lebih tinggi yakni 250-500 kalori. Bir favorit banyak orang ketika musim panas adalah mencampur setengah jenis bir extra light seperti MGD 64, Beck's Premier Light, atau Michelob Ultra Lime yang kadang dicampur dengan setengah minumuman Diet &-up.

Sedikit orang yang tahu ada fakta bahwa bir mengandung antioksidan. Kajian di University of Scranton menghitung zat asam antioksidan di dalam bir dan sebagian besar bir jenis keras seperti jenis lagers, light beer, dan bir non alkohol juga memiliki antioksidan ini.

Berdasarkan temuan itu, beberapa peneliti memasukkan bir yang memiliki banyak antioksidan ke dalam pola diet di AS ketimbang anggur. Para peneliti yang melakukan penelitian dengan memberikan bir kepada binatang yang memiliki kolesterol tinggi menemukan bahwa bir hitam atau jenis lagers membantu melindungi arteri dari timbunan plak. Bir yang mengandung antioksidan juga membantu mengurangi peradangan saluran darah yang berkaitan dengan penyakit jantung.

Selain itu, manfaat bir yang memiliki etanol selain diketahui melindungi kardiovaskular dan membantu mengurangi risiko serangan jantung dan stroke, dalam kajian terbaru menunjukkan bahwa ada kandungan yang terkait dengan sistem saraf. Para peneliti menemukan alkohol bisa melindungi protein yang dibutuhkan untuk melindungi otak atau ancaman Alzheimer.

Namun Upton menggarisbawahi, bir bisa menjadi minuman yang baik asal dikonsumsi dengan aman dan benar. Satu gelas untuk wanita atau dua gelas untuk pria per hari masih menjadi batas toleransi. Anda yang hobi minum bir juga sebaiknya tidak memiliki catatan keluarga kecanduan alkohol atau risiko terkena kanker payudara.

Sejak tahun 2010, sejumlah daerah di Indonesia menerapkan regulasi penjualan bir

Kegunaan bir kini sudah mengalami pergeseran budaya. Di masa kini, banyak orang yang menyalahgunakan alkohol untuk mabuk-mabukan. Padahal, di zaman dulu bir disinyalir dibuat sebagai minuman obat.

Kegunaan bir sebagai minuman obat, kata Arie Susanto melanjutkan, terlihat dari tulisan di Mesir kuno yang diduga dibuat pada tahun 1600 Sebelum Masehi.
Jamuan Sake di Jepang
 dan Korban Oplosan
(sumber : edualkohol.blogspot.com)

"Tulisan Mesir ini berisi tentang 100 resep pengobatan dengan menggunakan bir," ujar lulusan Beer Engineering di Technische Universitat Munchen, Jerman ini.

Selain itu, sebuah resep kuno yang sudah berusia tiga milenium yang ditemukan di kuil matahari Ratu Nefertiti. Resep ini pernah digunakan oleh New Castle Brewery di Inggris dan dijadikan 1000 botol bir yang diberinama Tuthankhamun Ale.

Resep ini ditemukan ketika arkeolog, Barry Kemp menggali makam sang Ratu Mesir di tahun 1990. Saat menggali, ia menemukan 10 ruang pembuatan bir yang terkubur di bawahnya. Masing-masing ruang diketahui meninggalkan jejak residu bir.

Bir dari resep asli sang ratu awalnya dijual dengan harga US$ 7.686 (sekitar Rp 93 juta). Namun lama-lama harganya turun drastis menjadi US$ 75 atau sekitar Rp 907 ribu per botol.

Melihat sejarah ini maka edukasi mengenai bir perlu diberikan kepada generasi muda, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan mabuk-mabukan. Pola hidup sehat juga penting diberikan kepada siswa sekolah agar diabetes tidak lagi menjadi momok dan ancaman bagi generasi muda dan orang tua.

Regulasi larangan menjual bir malah menimbulkan semakin banyaknya korban jiwa akibat oplosan. 

Rabu, 08 April 2015

Pedagang Bir Kirim Surat “Jerit Banyumasan” kepada Presiden Jokowi

Jerit Banyumasan

Kulonuwun Bapake, Assalam Mu’alaikum....
Inyong Wong Cilik Banyumasan, Golet duwite sekang dodolan bir
Urip inyong sekang dodolan bir Pak, duduk sekang begal utawa korupsi
Dodolane cilik batine ya cilik dadi aja dipateni panganku
Nek bir ora olih didol, oplosane karo miras dadi gede
Inyong wong cilik Banyumas mbiyen dukung bapake
Lah siki kok malah bapake gawe anak karo bojone inyong ora mangan
Kudune bapake mbatiri inyong ben tambah makmur ora malah gawe aturan sing marai inyong kere
Kepriwe kie Pak
Pokoke inyong njaluk tulung aturane dicabut Pak


Demikian tulis Sugiono, salah satu perwakilan pedagang di Banyumas, yang juga Ketua Persatuan Penjual Bir Banyumas. Tulisan itu akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo, yang diusung oleh PDIP yang menjadi pilihannya dalam Pemilihan Presiden lalu.

“Saya ini tidak mengerti masalah politik dan hukum. Tetapi aturan Menteri Perdagangan Rahmad Gobel itu tidak masuk akal dan tidak sesuai janjinya Presiden Jokowi saat kampanye yang pro rakyat kecil. Gara-gara aturan itu membuat pedagang kecil resah karena terancam mata pencahariannya, “ katanya di Purwokerto, Rabu (08/04/2015).

Tulisan jeritan Sugiono yang ditulis dalam secarik kertas beberapa hari setelah Menteri Gobel menandatangani regulasi larangan menjual bir itulah yang akhirnya dipilih dan disetujui oleh beberapa pedagang kecil dan eceran di Banyumas untuk dikirim kepada Presiden, sebagai perwakilan dari suara hati nurani mereka yang terancam kehidupan perekonomiannya karena munculnya larangan Menteri Perdagangan yang menjual bir oleh minimarket dan para pengecer yang ditandatangani pada 16 Januari 2015 lalu.

“Memang kami tidak menjual bir di minimarket, akan tetapi kami juga ikut terkena imbas aturan itu. Banyak pedagang takut berjualan, padahal selama ini bir ini produk legal, diakui perdagangannya dan kami telah mengeluarkan uang untuk membayar retribusi kepada pemerintah daerah, “ katanya.

Seperti diketahui, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel melarang penjualan minuman beralkohol dibawah 5 persen dijual di minimarket. Penjualan minuman beralkohol golongan A hanya boleh dilakukan oleh supermarket atau hipermarket. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

Dengan keluarnya aturan ini, pebisnis minimarket dan termasuk pedagang kecil yang masuk dalam kategori pengecer lainnya wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari toko miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit. Bir hanya boleh dijual di hipermarket dan supermarket, yang hanya ada di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan beberapa daerah lain.

“Kami lihat di internet kalau Pak Jokowi bersama beberapa menteri kabinetnya, termasuk Pak Gobel menerima jamuan minuman beralkohol sake saat perjamuan bisnis di Istana Jepang. Sementara kok di dalam negeri tidak boleh menjual minuman berakohol jenis bir, “ katanya.

Senin, 06 April 2015

Seni Tayub Ikut Kena Imbas Larangan Peredaran Minuman Beralkohol

Kebijakan Pemerintahan Jokowi kembali direspons negatif. Kali ini, terkait Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol golongan A.

Alasannya, peraturan tersebut dianggap bakal mematikan perekonomian para pedagang dan pengecer yang selama ini berjualan minuman beralkohol dengan kadar alkohol 0-5 persen tersebut. “Sebagai pedagang kecil, jelas sangat dirugikan atas peraturan menteri itu. Apalagi, pemberlakuan aturan itu tanpa ada sosialisasi sebelumnya,” tegas Sudarsono, Koordinator Pedagang Minuman Beralkohol se-Jatim, Senin (6/4).

Ditambahkan Sudarsono, larangan berjuaan bir itu juga mengancam rantai perekonomian masyarakat kecil di bisnis pariwisata yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya Jawa Timur. “Pemerintah seharusnya memikirkan rakyat kecil. Larangan berjualan minuman beralkohol itu sama dengan mematikan kami pelan-pelan,” ucap Sudarsono.

Pedagang yang membuka usahanya di kawasan Surabaya Barat ini lalu memapar, omset berjualan minuman beralkohol selama sebulan 1.000-3.000 krat. “Itu sudah jauh berkurang belakangan ini. Apalagi sekarang dengan adanya larangan ini, jelas matilah usaha orang-orang seperti saya ini” ungkapnya.

Ditambahkan Sudarsono, keluhan atas larangan peredaran minuman beralkohol di supermarket dan pedagang eceran ini juga muncul dari paguyuban kesenian tradisional Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta masyarakat kesenian di Jatim dan Jateng. “Mestinya Pak Presiden Jokowi dan Pak Menteri Gobel blusukan ke daerah kami untuk melihat fakta sebenarnya di lapangan. Konsumen minuman beralkohol itu tak hanya turis asing di daerah pariwisata, tapi banyak masyakarat lokal dan adat setempat di seluruh Indonesia,“ ungkapnya.

Menurut Sudarsono, paguyuban Tayub dan Bandar Tayub selama ini beli bir di toko pengecer terdekat sebelum kemudian dijual kembali ke tamu undangan hajatan. “Dari kegiatan ini mereka memperoleh tambahan rejeki. Ini adalah bagian dari kultur masyakarat Indonesia yang sudah ada sejak lama, “ kata Sudarsono.

Untuk menyampaikan uneg-uneg para pedagang kecil di Jatim ini, lanjut Sudarsono, pihaknya akan menyampaikan petisi ke Presiden Jokowi serta Menteri Perdagangan. “Korban dari aturan yang akan berlaku per-16 April ini sangat banyak. Jadi harus dipertimbangkan lagi oleh pemerintah,” tegasnya.

Dihubungi terpisah, Nur Khasan, Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia (FKPMB-SI) Nur Khasan mengatakan pihaknya sudah menerima surat pernyataan penolakan ratusan pedagang eceran minuman beralkohol di lebih dari dua puluh daerah, mulai dari Subang, Cirebon, Bandung, Bali, Sragen, Yogyakarta, Kediri, dan Bojonegoro.

Ditekankan Nur Khasan, masalah baru yang akan muncul dengan adanya peraturan ini adalah meningkatnya bisnis oplosan karena melihat peluang kosongnya produk minuman beralkohol di pasar. “Pemerintah belum tuntas menanggulangi korban oplosan, tapi sekarang menciptakan kesempatan untuk usaha ilegal ini berkembang,” cetusnya.

Nur Khasan menepis tudingan minuman beralkohol bisa menyebabkan kematian. “Selama ini tak pernah ada orang meninggal karena mengkonsumsi bir. Yang meninggal itu karena mereka ngoplos. Jikalau terjadi keributan atau pertengkaran itu bukan karena salah minumannya tetapi karena penyalahgunaan. Orang sehabis makan soto saja juga bisa ribut,“ tuturnya. (sumber : tribunnews)

Baca juga 

http://regional.kompas.com/read/2015/04/06/21213351/Pedagang.Miras.Eceran.Kirim.Petisi.Berbahasa.Jawa.Untuk.Jokowi

http://www.antarajatim.com/lihat3/berita/154828/pedagang-galang-petisi-tolak-pengendalian-minuman-beralkohol

http://m.merdeka.com/peristiwa/lawan-permendag-nomor-06-ratusan-pedagang-miras-bikin-petisi.html

http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2015/150263-Pedagang-Tradisional-Minol-Jatim-Tolak-Permendag-nomor-6

PENOLAKAN PEDAGANG ECERAN MINOL SE JAWA TIMUR PADA PERMENDAG 6 Tahun 2015


SIARAN PERS - Untuk Disebar Luaskan Segera Surabaya – Senin, 6 April 2015 – Kami pedagang eceran, toko dan grosir yang menjual minuman berakohol seluruh Jawa Timur bersama-sama hari ini menandatangani petisi bersama sebagai tanda penolakan terhadap Peraturan Menteri Perdagangan No. 6 tahun 2015 yang melarang penjualan bir tidak hanya oleh mini market modern tapi juga para pengecer tradisional, yang isinya ; 


AKU IKI WONG CILIK KAREP NGGOLEK SANDANG LAN PAPAN, OJO DI SOROKNO KARO ATURAN SING GAK KARUAN. (Kami rakyat kecil mau mencari rejeki, mau mencari makan untuk keluarga jangan disengsarakan dengan peraturan yang tidak jelas). Banyak para perdagang tradisional yang kehidupannya bergantung pada penjualan bir dan hasilnya dapat membantu mereka untuk menyekolahkan anak hingga ke bangku kuliah, agar kelak menjadi generasi muda Indonesia yang berkualitas. 

ATURAN SING GAK KARUAN INI GAK NGLINDUNGI WONG NOM-NOMAN, TAPI JUSTRU MATENI WONG CILIK. NANG ENDI AE ROSO TEPO SELIRO LAN KEADILAN PAK MENTERI GAWE WONG CILIK? (Peraturan ini tidak melindungi generasi muda, tapi justru mematikan rakyat kecil. Dimana rasa kemanusiaan dan keadilan Bapak Menteri untuk rakyat kecil ? ) Sebagai pedagang kecil, kami sangat bingung dengan aturan Menteri Perdagangan, kabinet Pak Jokowi ini. Peraturan yang dibuat seakan-akan bertujuan melindungi generasi muda justru tidak melindungi hajat hidup rakyat tapi justru mematikan penghidupan yang telah puluhan tahun kami jalani. Apa tidak ada aturan lain yang lebih bijak yang tetap membolehkan kami berjualan? 

BOLO KUROWO SING DAGANG MINUMAN BERALKOHOL SAK JATIM KAREP NUNTUT BEN ATURAN SING GAK JELAS DICABUT TRUS DIGANTI KARO ATURAN KHUSUS GAWE WONG MENDEM, SUPOYO NANG INDONESIA ORA ONOK MANEH WONG MENDEM. (Pedagang eceran minuman beralkohol seluruh Jawa Timur menuntut pemerintah untuk mencabut peratutan penjualan tersebut dan mengganti dengan peraturan khusus untuk orang mabuk, supaya di Indonesia tidak ada orang mabuk) “Banyak teman-teman pedagang tradisional yang sudah lama berjualan bir sekarang ketakutan dan was-was kena razia, seolah-olah kami ini kriminal yang berjualan barang ilegal. Dimana keadilannya untuk rakyat kecil. Kami akan mengirimkan petisi ini ke Pak Jokowi, Kementerian Perdagangan serta pihak terkait baik di pemerintah pusat, propinsi hingga Kabupaten dan Kota” kata Koordinator pedagang minuman beralkohol se-Jatim Sudarsono di Surabaya Senin (06/04). 

Sudarsono mengatakan keluhan juga berdatangan dari paguyuban kesenian tradisional Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan masyarakat kesenian di Jatim dan Jawa Tengah juga memprotes keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan itu. “Mestinya Pak Presiden Jokowi dan Pak Menteri Gobel blusukan ke daerah kami untuk melihat fakta sebenarnya di lapangan. Konsumen minuman beralkohol itu ndak hanya turis asing di daerah pariwisata, tapi banyak masyakarat lokal dan adat setempat di seluruh Indonesia“, sambungnya. 

“Paguyuban Tayub dan bandar tayub membeli bir dari toko pengecer terdekat yang sebelumnya masih menjual bir kemudian mereka menjual bir kepada tamu undangan hajatan kepada orang dewasa. Dari kegiatan ini mereka memperoleh tambahan rejeki. Ini adalah bagian dari kultur masyakarat Indonesia yang sudah ada sejak lama, “ kata Sudarsono. 

Setelah munculnya regulasi Menteri Perdagangan, kata Sudarsono, Paguyuban Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan kehilangan rejeki dari hasil menjual bir karena mendengar isu bahwa menjual bir akan ditangkap polisi seperti halnya pengedar barang ilegal. Selain itu paguyuban akan kesulitan untuk beli bir karena pengecer langganan tidak lagi boleh berjualan dan tidak semua daerah ada supermarket atau hipermarket. “Kami berharap Presiden Jokowi yang dipilih langsung oleh rakyat kecil mendengarkan suara ini dan tetap teguh berpedoman bahwa negara Indonesia merupakan negara yang menghormati keberagaman adat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan juga negara milik wong cilik, “ katanya. 

Sementara itu, ditempat yang sama, Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia (FKPMB-SI) Nur Khasan mengatakan hingga saat ini pihaknya sudah menerima surat pernyataan penolakan ratusan pedagang eceran minuman beralkohol di lebih dari dua puluh (20) daerah, mulai dari Subang, Cirebon, Bandung, Bali, Sragen, Yogyakarta, Kediri, Bojonegoro dan lainnya. Selain itu, masalah baru yang akan muncul dengan adanya peraturan ini adalah meningkatnya bisnis oplosan ilegal karena melihat peluang kosongnya produk minuman beralkohol di pasar. Pemerintah belum tuntas menanggulangi korban oplosan, tapi sekarang menciptakan kesempatan untuk usaha ilegal ini berkembang. 


“Tidak benar kalau ada cerita orang yang mengkonsumsi minuman bir meninggal. Yang meninggal itu karena mereka ngoplos. Jikalau terjadi keributan atau pertengkaran itu bukan karena salah minumannya akan tetapi karena penyalahgunaan. Wong orang sehabis makan soto saja juga bisa ribut, “ katanya. “Banyak orang yang bingung mencari minol legal malah justru ganti ke oplosan yang mematikan. Pemerintah sepertinya tersaru dengan permasalahan banyaknya korban akibat oplosan. Padahal sudah banyak korban jiwa akibat oplosan. Aturan yang tujuan awalnya melindungi anak muda, malah justru akan berbahaya dampaknya”, gusar Hasan. 

Untuk informasi lebih lanjut Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia (FKPMB-SI) Nur Khasan (Hp 0815 7536 6966)
Powered By Blogger