Sabtu, 28 Maret 2015

Pelarangan Jual Bir Ancaman Bagi Hak Asasi Perempuan untuk Mendapatkan Pendidikan Layak

Hari sudah mulai petang. Tanda aktifitas di kawasan Desa Denasri, Kecamatan Batang, desa paling barat yang berbatasan dengan Kota Pekalongan Jawa Tengah pun dimulai. Nur Khasan, salah satu aktifis sosial pun mengambil perannya mengedukasi bahaya HIV/AIDS dan bahaya oplosan. Menurutnya perlu ada edukasi terpadu dalam menangani masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan minuman beralkohol.

Kendati sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2011 tentang pemberantasan pelacuran di Kabupaten Batang, namun setahun terakhir jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kabupaten Batang, meningkat hingga 40 persen dari tahun sebelumnya.

Kondisi itulah yang membuat Nur Khasan tidak lelah berjuang memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar mengenai penanganan HIV/AIDS.  "Saya merasa terpanggil dengan kondisi di sekeliling saya dan wujud kepedulian saya terhadap generasi muda penerus bangsa, " katanya.

Seperti diketahui dalam setahun terakhir, perkembangan dunia hiburan tumbuh di kawasan Batang sangat pesat. Tempat prostitusi, warung remang-remang hingga kafe, sudah menyatu dengan permukiman. Papan nama yang jelas tertera tumbuh bagai jamur di musim hujan. Mulai dari Desa Denasri hingga Desa Gringsing berbatasan dengan Kabupaten Kendal. Bahkan untuk Kecamatan Bandar, daerah pinggiran nan terpencil, berubah menjadi kawasan prostitusi baru. Dinas Kesehatan Kabupaten Batang mengeluarkan data per akhir Februari dimana 7 warga Kecamatan Bandar menderita HIV/AIDS.

Hasan yang Ketua  Forum Komunikasi Peduli Batang (FKPB), yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen pada penanggulangan masalah AIDS di Batang, kini ada 750 WPS yang bekerja di 15 tempat prostitusi serta ribuan pekerja lainnya yang beraktivitas di 60-an tempat hiburan. Mulai dari kafe hingga warung remang-remang yang tersebar di 15 kecamatan di Kabupaten Batang. Setiap tahun jumlah PSK meningkat hingga 40 persen.

“Perkembangnya dunia hiburan maupun prostitusi, karena minimnya pendidikan atau sumber daya manusia, khususnya perempuan. Sehingga peluang mendapatkan pekerjaan sangat minim.Sebagian para PSK tersebar di warung remang-remang dan kafe di sepanjang Pantura Batang. Karena kebutuhan ekonomi yang dilatarbelakangi oleh minimnya pendidikan mereka,” katanya.

Tidak hanya peduli dengan penanganan HIV/AIDS dan perjuangan hak-hak atas perempuan, Nur Khasan yang kini juga menjadi Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol seluruh Indonesia juga terus melakukan sosialisasi bahaya oplosan di kalangan remaja di Batang.

"Sebenarnya kegiatan ini sudah lama. Namun kini saya terpanggil karena munculnya sejumlah regulasi mengenai larangan dan pembatasan penjualan bir baik di tingkat pusat dan daerah, dimana regulasi ini dapat menyebabkan masalah sosial baru di masyarakat, " katanya.

Hasan mengatakan sama halnya dengan penanganan HIV/AIDS, edukasi mengenai minuman beralkohol masih sangat minim. Banyak orang yang "salah kaprah" dalam mengklasifikasikan minuman beralkohol sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan minuman beralkohol.

"Seharusnya jangan dilarang karena semakin dilarang akan semakin dicari orang. Kondisi ini akan memicu pasar gelap yang sulit dikontrol dan diawasi oleh pemerintah, " katanya.

Di Cirebon Jawa Barat, katanya, meskipun sudah memberlakukan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2013 yang melarang minuman beralkohol dijual dilokasi manapun di Kota Cirebon sejak Juni 2013 lalu, namun awal Februari tahun 2014 lima orang meninggal menggelar minuman keras oplosan di kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.

Demikian pula di Sumedang dan Garut, Provinsi Jawa Barat, dimana 17 orang meninggal dunia di Garut setelah meminum minuman keras oplosan jenis Cherybel pada 3 Desember lalu. Selang sehari kemudian tercatat 109 korban dirawat di rumah sakit Sumedang setelah mengkonsumsi minuman keras beralkohol. Dari jumlah itu, 10 di antaranya tewas. Bahkan 6 korban yang harus dirawat di rumah sakit adalah anak di bawah umur.

"Pada 25 Maret lalu, empat warga desa Tanjungsari Kabupaten Sumedang Jawa Barat meninggal dunia akibat oplosan. Jangan sampai larangan penjualan bir ini menambah korban baru, " katanya.

Larangan penjualan bir di minimarket yang dikuatirkan akan memicu peredaran gelap minuman alkohol juga mengancam hak-hak dasar perempuan yang diatur dalam Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

"Masih minimnya akses informasi dan edukasi mengenai minuman beralkohol, karena munculnya pelarangan, merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang mempunyai peranan sangat besar dalam pendidikan keluarga dan anak-anaknya, " katanya.

Kebijakan Kementerian Perdagangan yang melarang penjualan minuman beralkohol, termasuk bir di minimarket mulai pertengahan bulan ini, ditengarai sarat dengan muatan politis sektarian. Kebijakan itu juga dianggap bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pariwisata.

Muhammad Ali, profesor studi Islam di University of California, dalam wawancara dengan Bloomberg, mengaitkan munculnya larangan menjual bir di minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya suara kalangan konservatif yang memberi kesempatan kepada para politisi populis Islam maupun politisi sekular memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi.

"(Kebijakan) ini adalah penerapan hukum Syariah secara perlahan  tetapi stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional," kata Muhammad Ali, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale Sales , kemarin (27/3).
Bagi kalangan pers Barat Indonesia sesungguhnya dipandang sebagai negara yang moderat dalam menerapkan hukum Syariah, paling tidak dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Asia Selatan.  Apalagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah koalisi dari partai-partai nasionalis dan partai Islam moderat. Pengecualian hanyalah di Aceh, yang menerapkan versi hukum Syariah yang berbeda.

Kendati demikian, Bloomberg mencatat sejak tahun 1990-an, sejumlah pemerintah daerah telah  mengeluarkan sejumlah peraturan yang bernuansa Syariah yang sasarannya adalah minuman beralkohol disamping peraturan tentang cara berpakaian yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.

Menurut Michal Buehler, pengajar studi Perbandingan Politik di School of Oriental and African Studies University of London, implementasi regulasi yang melarang penjualan bir di minimarket tersebut lebih merupakan peraturan tambal sulam dan  diselubungi oleh praktik berbau suap.

"Ini murni politik simbol," kata dia. "Apa yang Anda lihat sedang terjadi adalah adanya kelompok yang senang main hakim sendiri sedang memperalat hukum untuk mengumpulkan kekuasaan agar terpusat di tangan mereka dan menghancurkan berbagai tempat. Itu yang membuat masalahnya jadi problematis," tutur dia. Buehler tidak menyebut nama kelompok dimaksud.


Pemkot Ambon Keberatan soal Larangan Minuman Beralkohol

Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon akan mengajukan keberatan terkait kebijakan Menteri Perdagangan RI Rahmat Gobel tentang larangan penjualan minuman beralkohol di minimarket.

 Kepala Bidang Pembinaan dan Perlindungan Konsumen Disperindag Kota Ambon, Roger Saimima mengatakan Pemkot Ambon meminta pertimbangan pada Kemendag karena aturan tersebut dinilai memberatkan sejumlah distributor dan pengusaha minuman beralkohol di Kota Ambon. Keberatan itu secara langsung telah disampaikan kepada Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy.

“Ada sejumlah distributor dan pengusaha yang menyampaikan keberatannya secara langsung kepada Pak Wali Kota. Mereka minta adanya pengecualian pemberlakukan kebijakan larangan itu di Kota Ambon,” ujarnya Jumat (28/3/2015).

Menyikapi hal tersebut, lanjut Saimima, Wali Kota bersama Kepala Disperindag Kota Ambon Rudy Watilette telah berangkat ke Jakarta untuk melakukan pertemuan dengan pihak Kenendag terkait masalah tersebut.

“Nah, soal diterima atau tidaknya keberatan tersebut. Kita belum tahu, nanti tunggu Pak Wali Kota pulang dan menyampaikan langsung kepada kami hasil dari pertemuan tersebut,” bebernya.

Sebelumnya, Provinsi Bali sudah lebih dulu meminta pertimbangan kementrian terkait pemberlakuan kebijakan larangan penjualan minuman beralkohol ini. Hanya saja, upaya tersebut ditolak oleh pihak Kementrian Perdagangan.

“Informasinya Bali juga sudah lebih dulu mengajukan keberatan, tapi ditolak. Padahal Bali itu merupakan daerah tujuan wisata di Indonesia. Tapi itu di Bali ya, kita belum tahu di Maluku siapa tahu ada perlakukan khusus,” tukasnya.

Larangan penjualan minuman beralkohol mulai diberlakukan per 16 April 2015 mendatang di tingkat pengecer dan minimarket. Minuman beralkohol hanya diperbolehkan dijual di supermarket dan hypermarket. Tapi untuk saat ini, minuman beralkohol tidak dibolehkan dipajang di etalase.

“Sejak kebijakan ini mulai diberlakukan. Sesuai dengan instruksi, nanti ada tim yang mengawas di lapangan. Bagi konsumen yang membeli minuman keras di supermarket dan hypermarket juga nanti akan diawasi. Sehingga anak-anak dibawah umur tidak diperbolehkan membeli minuman beralkohol,”terangnya.

(*http://regional.kompas.com/read/2015/03/28/08131911/Pemkot.Ambon.Keberatan.soal.Larangan.Minuman.Beralkohol )


Baca juga

1. http://m.inilah.com/news/detail/2190840/pengecer-minuman-beralkohol-resah-dengan-permendag

2. http://www.bloomberg.com/news/articles/2015-03-27/beer-today-gone-tomorrow-muslim-indonesia-targets-sales-of-ale

3. http://news.okezone.com/read/2015/03/27/338/1125411/pedagang-tolak-regulasi-larangan-penjualan-minuman-beralkohol

4. http://nasional.kontan.co.id/news/jual-bir-dilarang-pedagang-protes-menteri-gobel




Rabu, 25 Maret 2015

Pedagang Minuman Beralkohol Se-Jabar Menilai Regulasi Menteri Perdagangan Melanggar HAM

Aksi penolakan pedagang di berbagai daerah terhadap terhadap Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol terus berlanjut. Ratusan pedagang yang mengatasnamakan Paguyupan Pedagang Minuman Beralkohol Subang (PPMS) menandatangani penolakan regulasi itu karena dinilai telah melanggar HAM dan hak pedagang untuk berpenghidupan yang layak.

Ketua Umum PPMS UU Rahayu mengatakan regulasi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Rahmad Gobel itu lebih memihak pengusaha besar ketimbang pedagang kecil.

"Padahal kami ini, Pedagang eceran tradisional dalam hal ini toko dan grosir di Kabupaten Subang menjual minol Gol A yang sah dan resmi dan bukan menjual oplosan ataupun produk yang dilarang oleh Undang-Undang, " katanya usai pertemuan di salah satu hotel di Subang, Jawa Barat (26/03).

Seperti diketahui, pada 16 Januari 2015 lalu, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel telah menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Aturan itu melarang penjualan minuman beralkohol dibawah 5 persen dijual di minimarket. Dengan keluarnya aturan ini, pebisnis minimarket wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari gerai minimarket miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit. Penjualan bir hanya boleh di hypermarket dan supermarket.

"Aturan yang cenderung melarang penjualan minuman beralkohol akan mematikan usaha kami pedagang eceran tradisional yang telah sekian lama menjual Minuman Beralkohol Golongan A sebagai sumber penghidupan, " katanya.

Rahayu mengatakan Permendag No. 6 Tahun 2015 bersifat diskriminatif karena hanya memperhatikan kepentingan pengusaha besar (pengusaha Supermarket dan Hypermarket) yang hanya diperbolehkan menjual Minuman Beralkohol Golongan A.

"Permendag No. 6 Tahun 2015 tidak melindungi keberadaan pedagang kecil bahkan merampas hak pedagang kecil untuk berusaha, " katanya.

Ia mengatakan selain dihadiri oleh pedagang asal Subang, dalam pertemuan itu juga dihadiri oleh beberapa perwakilan pedagang asal beberapa daerah di Jawa Barat.

"Kami berharap pemerintah mau mendengar aspirasi kami, " katanya.

Pedagang Se-Jawa Barat Tolak Regulasi Larangan Penjualan Minuman Beralkohol


Salah satu perwakilan pedagang minuman beralkohol seluruh Jawa Barat menandatangani pernyataan penolakan terhadap Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Subang, Jawa Barat, Rabu (25/03). Aksi lanjutan para pedagang minuman beralkohol itu merupakan bentuk keresahan pedagang akibat ketidakpastian secara hukum aturan menjual produk minuman beralkohol yang secara legal diatur dalam UU Perdagangan.

Minggu, 22 Maret 2015

Regulasi Baru Rawan Korupsi

Sejumlah regulasi yang melarang penjualan minuman beralkohol di sejumlah daerah, termasuk Peraturan No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol diduga rawan tindak pidana korupsi.

Koordinator East Java Action (EJA), sebuah organisasi non profit yang bergerak dalam bidang pendampingan terhadap korban narkotika dan obat terlarang di Jawa Timur, Rudhy Wedhasmara, mengatakan regulasi yang mengatur dan melarang peredaran dan penjualan minuman  beralkohol di Surabaya ini tidak efektif karena masih minimnya pengetahuan masyarakat mengenai alkohol.

“Di berbagai negara lainnya, seperti di London, Inggris, juga mempunyai aturan yang tegas terkait alkohol, misalnya denda bagi pembeli alkohol di bawah 18 tahun. Meskipun diatur ketat, namun juga dibarengi pendidikan masyarakat mengenai alkohol, serta aturan ketat tentang tata kelola keuangan," katanya.

Di Indonesia, kata Rhendy, pendidikan mengenai alkohol kurang mendapatkan perhatian. Pemerintah baru bersikap reakif dengan membuat aturan ketika muncul banyaknya korban jiwa akibat oplosan.

“Peraturan Daerah Pengendalian Minuman Beralkohol justru berpotensi memunculkan pemerasan dari oknum yang tidak bertanggung jawab bahkan juga rawan tindak korupsi dari pemberian label pungutan retribusi dari produk alkohol, “ katanya.

Rudhy menyebut, melalui peraturan daerah nantinya orang yang meminum minuman beralkohol bukan untuk mabuk bisa dikriminalkan sementara pemerintah sendiri tidak bisa mengawasi peredaran oplosan.

“Saya banyak menemui ada beberapa oplosan yang bahannya dari minuman nonalkohol kemudian dicampur dengan minuman beralkohol seperti arak.  Jika aturan ini berlaku bisa saja produsen minuman non alkohol juga terkena sanksi pidana karena pencampuran dari produknya menyebabkan keracunan alkohol (methanol), “ katanya.

Untuk dapat melindungi warga negara dari kematian akibat minuman oplosan, kata Rudhy seharusnya pemerintah bukan melarang dan menafikan keberadaan dan konsumsi minuman beralkohol di masyarakat. Pemerintah harus berani mengangkat produk-produk minuman beralkohol lokal sehingga berada dalam kerangka perdagangan yang resmi dimana mutunya dapat diawasi dan produksi serta perolehannya tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi

Sosiolog Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan regulasi pelarangan penjualan minuman berakohol ini tidak efektif menekan jumlah korban jiwa akibat oplosan.

“Meminum minuman oplosan menunjukkan perilaku, maka untuk mengubah perilaku bukanlah melalui Peraturan Daerah melainkan dikembalikan ke norma atau aturan yang berlaku di masyarakat, “ katanya.

Bagong menyebut konsumsi oplosan merupakan bagian dari sub kultur masyarakat menengah ke bawah yang memaknai konsumsi oplosan untuk menunjukkan kejantanan.

Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia, Nur Khasan mengatakan sebagai pedagang dan pengecer minuman beralkohol, pihaknya sangat tunduk kepada hukum dan perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk melaksanakan kewajian kami sebagai warga negara.

"Kami mempunyai ijin berjualan secara resmi seperi yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, " kata pria yang dipanggil Hasan.

Hasan mengatakan sesuai Pasal 99 ayat 2 UU Perdagangan, maka  pelarangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik barang dari distribusi atau menghentikan kegiatan jasa yang diperdagangkan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perdagangan.

"Pemberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol menyebabkan keresahan karena dalam pelaksanaannya tidak memberikan kepastian berusaha dan hukum kepada para pedagang dan pengecer minuman beralkohol di daerah, " katanya.

Hasan mengatakan selama ini para pedagang minuman beralkohol juga peduli dengan generasi muda dengan tidak menjual minuman beralkohol kepada anak-anak dan remaja dibawah usia 21 tahun. (*berbagai sumber, vivanews.com)


Jumat, 20 Maret 2015

Bir Simbol Perlawanan Melawan Kemiskinan

  
Bir ialah simbol perlawanan, sama seperti minuman beralkohol tradisional asli Indonesia, Ciu asal Solo, Jawa Tengah

Bagi eks-bajing loncat di kawasan Alas Roban, Batang Jawa Tengah, menjual bir merupakan salah satu cara melawan himpitan ekonomi yang berujung pada tindak kriminalitas di kawasan Pantura Jawa Tengah. "Tahun 90-an kawasan Pantura dikenal sebagai daerah rawan tindak kriminal. Aksi kawanan bajing loncat sering menghantui setiap pengemudi truk angkutan, " cerita Nur Khasan, Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia yang juga aktifis sosial di Batang Jawa Tengah. 
Hasan, panggilan akrab Nur Khasan yang banyak beraktifitas dalam penanganan HIV/AIDS di Batang, pun akhirnya membina eks bajing loncat untuk berwiraswasta dengan membuka warung di kawasan Pantura. 

"Kini sudah banyak pelaku bajing loncat yang bertobat karena telah memiliki usaha sendiri. Perekonomian masyarakat sekitar pun tumbuh dengan menjual bir di warung-warung kawasan Pantura, " katanya. 

Apa yang terjadi di Batang, Jawa Tengah bukanlah satu-satunya kisah hadirnya minuman beralkohol mengangkat perekonomian masyarakat. Di desa Taybeh Tepi Barat Palestina, masyarakat menggelar Festival Bir setiap Oktober sebegai bentuk perlawanan terhadap Israel. Festival Bir itu mampu mengundang investasi asing hingga menjadikan kekuatan perekonomian domestik masyarakat Palestina  sebagai modal hadapi Israel. 

Desa yang letaknya sekitar 14 kilometer dari Yerusalem, Taybeh di Tepi Barat dikenal sebagai satu-satunya desa penghasil bir di Palestina.Ribuan pengunjung membanjiri desa berpenduduk Kristen yang hidup rukun berdampingan dengan umat Muslim itu untuk merayakan Festival Bir setiap tahunnya. Desa berpenduduk 1.400 orang itu bahkan memperluas usaha dengan memproduksi anggur. 

“Kami percaya beginilah Palestina dapat dibangun. Dengan melakukan investasi di dalam negeri dan mendorong orang Palestina lain datang dan menanam modal di sini,” kata pendiri penyulingan bir dan anggur, Nadim Khoury, seperti dikutip laman berita Al-Quds.




Bir dari Taybeh beredar di seluruh dunia. Produk tanah Palestina ini bahkan banyak dikonsumsi warga Israel jauh dari Tepi Barat. Sejak 2005, Taybeh menggelar Festival Bir tahunan setiap Oktober. Sebanyak 16 ribu orang mengunjungi acara yang menjadi magnet wisata itu. Kebanyakan pengunjung merupakan diplomat, pekerja kemanusiaan, jurnalis dan wisatawan lainnya. 

Festival bir tahunan justru membuat produk warga sekitar laris manis diborong wisatawan. Produk itu di antaranya adalah madu, minyak zaitun, dan kain sulam.

Khoury mengatakan, bisnis keluarganya mulai memproduksi anggur. Khoury memberi nama Nadim untuk produk anggur mereka. Nadim dalam bahasa Arab berarti teman minum. Putranya, Canaan tahun lalu bekerjasama dengan pembuat anggur dari Italia untuk produksi gelombang pertama. Anggur itu dibuat dari jenis merlot, kabernet dan Suriah. 

Keluarga itu meluncurkan anggur baru itu November lalu.

Kepala Desa Taybeh, Nadim Barakat mengatakan, mereka membutuhkan industri anggur, bir dan festival tahunan untuk memutar roda ekonomi desa itu. 
“Ekonomi merupakan inti semuanya. Kami harus meningkatkan ekonomi Taybeh sehingga warga tidak pergi mencari pekerjaan di negara lain,” pungkasnya. 

  

Rabu, 18 Maret 2015

SIARAN PERS




SIARAN PERS

Jakarta, Rabu 18 Maret 2015

Sehubungan dengan pemberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, kami Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia (FKPMB-SI) yang beranggotakan asosiasi pedagang eceran minuman beralkohol dengan ini menyatakan: MENOLAK PELARANGAN PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL GOLONGAN A DI PENGECER (TOKO, TOKO P&D / KELONTONG, DAN GROSIR). Adapun alasan kami menolak adalah:

1. Peraturan tersebut tidak memperhatikan hak pedagang untuk memperdagangkan      Minuman Beralkohol yang legal dan sah sesuai peraturan dan perizinan di Indonesia.

2. Peraturan tersebut justru menutup akses konsumen atas Minuman Beralkohol yang resmi dan aman dikonsumsi, khususnya di daerah yang tidak punya Hipermarket dan Supermarket. Akibatnya konsumen beralih ke minuman oplosan yang mengandung bahan berbahaya dan mematikan.

3. Peraturan tersebut tidak memperhatikan aspirasi masyarakat kecil seperti kami pedagang eceran tradisional yang langsung dirugikan.

4. Peraturan tersebut menciptakan diskriminasi yang memberikan hak istimewa kepada pengusaha besar Supermarket dan Hipermarket di kota besar metropolitan, akan tetapi mengabaikan hak berdagang pedagang kecil seperti kami yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.

5. Peraturan tersebut diberlakukan tanpa memperhatikan pengecer yang telah bersusah payah untuk mengurus izin (Surat Keterangan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A/SKP-A) yang kemudian dibatalkan begitu saja.

6. Peraturan tersebut tidak memperhatikan nasib kami pedagang eceran tradisional dan justru mematikan usaha yang telah sekian lama menjual minol Golongan A sebagai sumber penghidupan.

7. Peraturan tersebut tidak mencerminkan tugas pemerintah yang seharusnya memberikan perlindungan, jaminan dan kepastian berusaha bagi pedagang kecil seperti kami.

8. Peraturan tersebut berdampak pada sektor pariwisata (hotel, restoran, kafe, bar) yang sangat bergantung pada pasokan barang dari kami mengingat tidak semua daerah ada supermarket dan hipermarket.

OLEH KARENA ITU, DEMI KELANGSUNGAN USAHA YANG MERUPAKAN SUMBER PENGHIDUPAN KAMI SELAMA INI DAN TELAH KAMI JALANKAN SECARA TURUN-TEMURUN, KAMI MENUNTUT:

PERMENDAG 6 TAHUN 2015 tidak diberlakukan kepada kami puluhan ribu pedagang eceran tradisional minuman beralkohol Golongan A di seluruh pelosok Indonesia.

Forum Komunikasi
Pedagang Minuman Beralkohol Seluruh Indonesia (FKPMB-SI)

Ketua : Nur Khasan
Sekjen : Soli J.S.

Hp : 0815 7536 6966

1. Asosiasi Pedagang dan Pengecer Minol Purwokerto (APPMP)
2. Asosiasi Pedagang dan Pengecer Minol Tegal (APPMT)
3. Asosiasi Pedagang dan Pengecer Minol Cilacap (APPMC)
4. Asosiasi Pelaku dan Pekerja Usaha Kepariwisataan Cirebon (APPUKC)
5. Asosiasi Pengusaha dan Pedagang Minuman (APPM) – Makassar
6. Asosiasi Pedagang Pengecer Minuman Beralkohol (APPMB)- Makassar
7. Asosiasi Golongan A Yogyakarta
8. Indramayu Usaha Minol Asosiasi (IMPAS)
9. Asosiasi Pedagang Minuman Golongan A Kabupaten Kuningan
10. Asosiasi Distributor Minol Golongan A (ADMA) Bali
11. Asosiasi Pedagang dan Pengecer Minol Kabupaten Cirebon
12. Paguyuban Sukowati - Sragen
13. Malt Bandung Association (MBA)
14. Asosiasi Pedagang Minuman Beralkohol Golongan A - Bangka
15. Forum Komunikasi Peduli Batang (FKPB)
16. Persatuan Pengusaha Hiburan Surakarta (PPHS)
17. Asosiasi Pekerja Rumah Hiburan Cilegon (ASPRIGHON)
18. Asosiasi Pelaku Usaha Hiburan Malam (ASPAHI CIREBON)
19. Asosiasi Pengusaha Kepariwisataan Tempat Hiburan (APKTH) - Cikarang


Senin, 16 Maret 2015

Berharap Kebijakan Pro Pedagang Minol

Menyikapi pemberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol yang menyebabkan keresahan bagi pedagang minuman beralkohol, puluhan perwakilan pedagang dan pengecer minuman beralkohol di seluruh Indonesia membentuk Forum Komunikasi Pedagang Pengecer Minuman Beralkohol  seluruh Indonesia.

Ketua Forum Komunikasi Pedagang Pengecer Minuman Beralkohol  seluruh Indonesia Nur Khasan mengatakan forum ini lahir dari inisiatif para pedagang dan pengecer minuman beralkohol di berbagai daerah di Indonesia atas ketidakpastian hukum dan berusaha menjual produk minuman beralkohol legal yang masih dilindungi oleh Undang-Undang Perdagangan.

“Peraturan tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol kurang memperhatikan nasib pedagang eceran tradisional yang menggantungkan penjualan minuman beralkohol legal sebagai sumber penghidupan, “ kata Nur Khasan dalam siaran persnya, Senin (17/03).

Forum Komunikasi Pedagang Pengecer Minuman Beralkohol  seluruh Indonesia resmi dideklarasikan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta pada 13 Maret 2015 lalu. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan pedagang dan pengecer asal Jawa Tengah, Jakarta hingga Jawa Timur itu menghasilkan kesepakatan bersama yang selanjutnya akan diserahkan langsung kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

"Kabinet Jokowi dikenal dengan kerja model blusukannya. Nah seharusnya sebelum membuat peraturan itu, kabinetnya melakukan blusukan di tingkat pedagang eceran. Dampak dari pemberlakukan Peraturan ini sangat memberatkan pedagang, " kata Hasan, --nama panggilan Nur Khasan--.

Salah satu pedagang di Jawa Barat misalnya, kata Hasan bercerita bahwa ia menjual bir selama belasan tahun hingga sanggup membiayai ketiga anaknya hingga lulus kuliah kedokteran. Pasca pemberlakukan Permendag termasuk sejumlah regulasi pelarangan dan pembatasan penjualan minuman beralkohol, pemerintah seakan tutup mata dan terkesan lebih melindungi pemilik jaringan hipermarket dan supermarket dibanding pedagang kecil.

Nur yang berasal dari Batang, Jawa Tengah juga bercerita mengenai perdagangan bir di kawasan Alas Roban yang mampu merubah puluhan bajing loncat (sebutan bagi pelaku tindak kriminal pencurian kendaraan bermotor) untuk berwiraswasta membuka warung.

"Sejak sepuluh tahun silam dengan banyaknya warung kecil yang menjual bir, kawasan Alas Roban jadi aman dari kelompok bajing loncat, " katanya.

Nur mengatakan di daerah Batang sendiri tidak ada hypermarket dan minimarket. Sehingga dengan pemberlakukan Permendag mengenai larangan penjualan bir di minimarket pratis sama dengan melarang seluruhnya penjualan bir di tingkat pengecer.

Seperti diketahui, pada 16 Januari 2015 lalu, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel telah menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Aturan itu melarang penjualan minuman beralkohol dibawah 5 persen dijual di minimarket. Dengan keluarnya aturan ini, pebisnis minimarket wajib menarik minuman beralkohol jenis bir dari gerai minimarket miliknya paling lambat tiga bulan sejak aturan ini terbit. Penjualan bir hanya boleh di hypermarket dan supermarket.

"Selain berdampak pada semakin banyaknya peredaran oplosan karena ketiadaan bir, tindak kejahatan di Alas Roban dikuatirkan marak lagi karena pemerintah mematikan sumber pendapatan masyarakat, " katanya.

Hasan mengatakan tidak hanya di Batang, bagi masyarakat di Indramayu, konsumsi minuman beralkohol merupakan budaya setiap perayaan panen raya setiap bulan April.

"Di Indramayu juga tidak ada hypermarket dan supermarket. Jika aturan Permendag itu diterapkan maka dikuatirkan akan terjadi korban akibat oplosan, “ katanya.

Hasan mengatakan pemerintah seharusnya melindungi hak berdagang pedagang minuman beralkohol karena selama ini produk minuman beralkohol masih legal di Indonesia.

"Sekarang ini seakan-akan menjual bir seperti menjual narkoba saja. Padahal yang banyak memakan korban jiwa ialah oplosan, " katanya.

Hasan berharap Presiden Joko Widodo bertindak arif dan bijaksana dalam menilai aspek sosial dan ekonomi dari setiap kebijakan, khususnya pelarangan dan pembatasan penjualan produk minuman beralkohol.

Powered By Blogger