Hari sudah mulai petang. Tanda aktifitas di kawasan Desa Denasri,
Kecamatan Batang, desa paling barat yang berbatasan dengan Kota Pekalongan Jawa
Tengah pun dimulai. Nur Khasan,
salah satu aktifis sosial pun mengambil perannya mengedukasi bahaya HIV/AIDS
dan bahaya oplosan. Menurutnya perlu ada edukasi terpadu dalam menangani
masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan minuman beralkohol.
Kendati sudah memiliki
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2011 tentang pemberantasan pelacuran di
Kabupaten Batang, namun setahun terakhir jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) di
Kabupaten Batang, meningkat hingga 40 persen dari tahun sebelumnya.
Kondisi itulah yang membuat
Nur Khasan tidak lelah berjuang memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar
mengenai penanganan HIV/AIDS. "Saya
merasa terpanggil dengan kondisi di sekeliling saya dan wujud kepedulian saya
terhadap generasi muda penerus bangsa, " katanya.
Seperti diketahui dalam
setahun terakhir, perkembangan dunia hiburan tumbuh di kawasan Batang sangat
pesat. Tempat prostitusi, warung remang-remang hingga kafe, sudah menyatu
dengan permukiman. Papan nama yang jelas tertera tumbuh bagai jamur di musim
hujan. Mulai dari Desa Denasri hingga Desa Gringsing berbatasan dengan
Kabupaten Kendal. Bahkan untuk Kecamatan Bandar, daerah pinggiran nan
terpencil, berubah menjadi kawasan prostitusi baru. Dinas Kesehatan Kabupaten
Batang mengeluarkan data per akhir Februari dimana 7 warga Kecamatan Bandar
menderita HIV/AIDS.
Hasan yang Ketua Forum Komunikasi Peduli Batang (FKPB), yakni
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen pada penanggulangan masalah AIDS
di Batang, kini ada 750 WPS yang bekerja di 15 tempat prostitusi serta ribuan
pekerja lainnya yang beraktivitas di 60-an tempat hiburan. Mulai dari kafe
hingga warung remang-remang yang tersebar di 15 kecamatan di Kabupaten Batang.
Setiap tahun jumlah PSK meningkat hingga 40 persen.
“Perkembangnya dunia hiburan
maupun prostitusi, karena minimnya pendidikan atau sumber daya manusia,
khususnya perempuan. Sehingga peluang mendapatkan pekerjaan sangat minim.Sebagian
para PSK tersebar di warung remang-remang dan kafe di sepanjang Pantura Batang.
Karena kebutuhan ekonomi yang dilatarbelakangi oleh minimnya pendidikan mereka,”
katanya.
Tidak hanya peduli dengan
penanganan HIV/AIDS dan perjuangan hak-hak atas perempuan, Nur Khasan yang kini
juga menjadi Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol seluruh
Indonesia juga terus melakukan sosialisasi bahaya oplosan di kalangan remaja di
Batang.
"Sebenarnya kegiatan ini
sudah lama. Namun kini saya terpanggil karena munculnya sejumlah regulasi
mengenai larangan dan pembatasan penjualan bir baik di tingkat pusat dan
daerah, dimana regulasi ini dapat menyebabkan masalah sosial baru di
masyarakat, " katanya.
Hasan mengatakan sama halnya
dengan penanganan HIV/AIDS, edukasi mengenai minuman beralkohol masih sangat
minim. Banyak orang yang "salah kaprah" dalam mengklasifikasikan
minuman beralkohol sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan minuman
beralkohol.
"Seharusnya jangan
dilarang karena semakin dilarang akan semakin dicari orang. Kondisi ini akan
memicu pasar gelap yang sulit dikontrol dan diawasi oleh pemerintah, "
katanya.
Di Cirebon Jawa Barat,
katanya, meskipun sudah memberlakukan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2013 yang
melarang minuman beralkohol dijual dilokasi manapun di Kota Cirebon sejak Juni
2013 lalu, namun awal Februari tahun 2014 lima orang meninggal menggelar
minuman keras oplosan di kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
Demikian pula di Sumedang dan
Garut, Provinsi Jawa Barat, dimana 17 orang meninggal dunia di Garut setelah
meminum minuman keras oplosan jenis Cherybel pada 3 Desember lalu. Selang
sehari kemudian tercatat 109 korban dirawat di rumah sakit Sumedang setelah mengkonsumsi
minuman keras beralkohol. Dari jumlah itu, 10 di antaranya tewas. Bahkan 6
korban yang harus dirawat di rumah sakit adalah anak di bawah umur.
"Pada 25 Maret lalu,
empat warga desa Tanjungsari Kabupaten Sumedang Jawa Barat meninggal dunia
akibat oplosan. Jangan sampai larangan penjualan bir ini menambah korban baru,
" katanya.
Larangan penjualan bir di
minimarket yang dikuatirkan akan memicu peredaran gelap minuman alkohol juga
mengancam hak-hak dasar perempuan yang diatur dalam Undang Undang RI Nomor 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan.
"Masih minimnya akses
informasi dan edukasi mengenai minuman beralkohol, karena munculnya pelarangan,
merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang mempunyai peranan sangat
besar dalam pendidikan keluarga dan anak-anaknya, " katanya.
Kebijakan Kementerian
Perdagangan yang melarang penjualan minuman beralkohol, termasuk bir di
minimarket mulai pertengahan bulan ini, ditengarai sarat dengan muatan politis
sektarian. Kebijakan itu juga dianggap bertentangan dengan keinginan Presiden
Joko Widodo untuk menarik investasi dan meningkatkan pendapatan negara dari
sektor pariwisata.
Muhammad Ali, profesor studi
Islam di University of California, dalam wawancara dengan Bloomberg, mengaitkan
munculnya larangan menjual bir di minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya
suara kalangan konservatif yang memberi kesempatan kepada para politisi populis
Islam maupun politisi sekular memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi.
"(Kebijakan) ini adalah
penerapan hukum Syariah secara perlahan
tetapi stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan
konstitusional," kata Muhammad Ali, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg,
dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale
Sales , kemarin (27/3).
Bagi kalangan pers Barat
Indonesia sesungguhnya dipandang sebagai negara yang moderat dalam menerapkan
hukum Syariah, paling tidak dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah
dan Asia Selatan. Apalagi, pemerintahan
Presiden Joko Widodo adalah koalisi dari partai-partai nasionalis dan partai
Islam moderat. Pengecualian hanyalah di Aceh, yang menerapkan versi hukum
Syariah yang berbeda.
Kendati demikian, Bloomberg
mencatat sejak tahun 1990-an, sejumlah pemerintah daerah telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang
bernuansa Syariah yang sasarannya adalah minuman beralkohol disamping peraturan
tentang cara berpakaian yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.
Menurut Michal Buehler,
pengajar studi Perbandingan Politik di School of Oriental and African Studies
University of London, implementasi regulasi yang melarang penjualan bir di
minimarket tersebut lebih merupakan peraturan tambal sulam dan diselubungi oleh praktik berbau suap.
"Ini murni politik
simbol," kata dia. "Apa yang Anda lihat sedang terjadi adalah adanya
kelompok yang senang main hakim sendiri sedang memperalat hukum untuk
mengumpulkan kekuasaan agar terpusat di tangan mereka dan menghancurkan berbagai
tempat. Itu yang membuat masalahnya jadi problematis," tutur dia. Buehler
tidak menyebut nama kelompok dimaksud.