Sabtu, 28 Maret 2015

Pelarangan Jual Bir Ancaman Bagi Hak Asasi Perempuan untuk Mendapatkan Pendidikan Layak

Hari sudah mulai petang. Tanda aktifitas di kawasan Desa Denasri, Kecamatan Batang, desa paling barat yang berbatasan dengan Kota Pekalongan Jawa Tengah pun dimulai. Nur Khasan, salah satu aktifis sosial pun mengambil perannya mengedukasi bahaya HIV/AIDS dan bahaya oplosan. Menurutnya perlu ada edukasi terpadu dalam menangani masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan minuman beralkohol.

Kendati sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2011 tentang pemberantasan pelacuran di Kabupaten Batang, namun setahun terakhir jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kabupaten Batang, meningkat hingga 40 persen dari tahun sebelumnya.

Kondisi itulah yang membuat Nur Khasan tidak lelah berjuang memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar mengenai penanganan HIV/AIDS.  "Saya merasa terpanggil dengan kondisi di sekeliling saya dan wujud kepedulian saya terhadap generasi muda penerus bangsa, " katanya.

Seperti diketahui dalam setahun terakhir, perkembangan dunia hiburan tumbuh di kawasan Batang sangat pesat. Tempat prostitusi, warung remang-remang hingga kafe, sudah menyatu dengan permukiman. Papan nama yang jelas tertera tumbuh bagai jamur di musim hujan. Mulai dari Desa Denasri hingga Desa Gringsing berbatasan dengan Kabupaten Kendal. Bahkan untuk Kecamatan Bandar, daerah pinggiran nan terpencil, berubah menjadi kawasan prostitusi baru. Dinas Kesehatan Kabupaten Batang mengeluarkan data per akhir Februari dimana 7 warga Kecamatan Bandar menderita HIV/AIDS.

Hasan yang Ketua  Forum Komunikasi Peduli Batang (FKPB), yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen pada penanggulangan masalah AIDS di Batang, kini ada 750 WPS yang bekerja di 15 tempat prostitusi serta ribuan pekerja lainnya yang beraktivitas di 60-an tempat hiburan. Mulai dari kafe hingga warung remang-remang yang tersebar di 15 kecamatan di Kabupaten Batang. Setiap tahun jumlah PSK meningkat hingga 40 persen.

“Perkembangnya dunia hiburan maupun prostitusi, karena minimnya pendidikan atau sumber daya manusia, khususnya perempuan. Sehingga peluang mendapatkan pekerjaan sangat minim.Sebagian para PSK tersebar di warung remang-remang dan kafe di sepanjang Pantura Batang. Karena kebutuhan ekonomi yang dilatarbelakangi oleh minimnya pendidikan mereka,” katanya.

Tidak hanya peduli dengan penanganan HIV/AIDS dan perjuangan hak-hak atas perempuan, Nur Khasan yang kini juga menjadi Ketua Forum Komunikasi Pedagang Minuman Beralkohol seluruh Indonesia juga terus melakukan sosialisasi bahaya oplosan di kalangan remaja di Batang.

"Sebenarnya kegiatan ini sudah lama. Namun kini saya terpanggil karena munculnya sejumlah regulasi mengenai larangan dan pembatasan penjualan bir baik di tingkat pusat dan daerah, dimana regulasi ini dapat menyebabkan masalah sosial baru di masyarakat, " katanya.

Hasan mengatakan sama halnya dengan penanganan HIV/AIDS, edukasi mengenai minuman beralkohol masih sangat minim. Banyak orang yang "salah kaprah" dalam mengklasifikasikan minuman beralkohol sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan minuman beralkohol.

"Seharusnya jangan dilarang karena semakin dilarang akan semakin dicari orang. Kondisi ini akan memicu pasar gelap yang sulit dikontrol dan diawasi oleh pemerintah, " katanya.

Di Cirebon Jawa Barat, katanya, meskipun sudah memberlakukan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2013 yang melarang minuman beralkohol dijual dilokasi manapun di Kota Cirebon sejak Juni 2013 lalu, namun awal Februari tahun 2014 lima orang meninggal menggelar minuman keras oplosan di kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.

Demikian pula di Sumedang dan Garut, Provinsi Jawa Barat, dimana 17 orang meninggal dunia di Garut setelah meminum minuman keras oplosan jenis Cherybel pada 3 Desember lalu. Selang sehari kemudian tercatat 109 korban dirawat di rumah sakit Sumedang setelah mengkonsumsi minuman keras beralkohol. Dari jumlah itu, 10 di antaranya tewas. Bahkan 6 korban yang harus dirawat di rumah sakit adalah anak di bawah umur.

"Pada 25 Maret lalu, empat warga desa Tanjungsari Kabupaten Sumedang Jawa Barat meninggal dunia akibat oplosan. Jangan sampai larangan penjualan bir ini menambah korban baru, " katanya.

Larangan penjualan bir di minimarket yang dikuatirkan akan memicu peredaran gelap minuman alkohol juga mengancam hak-hak dasar perempuan yang diatur dalam Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

"Masih minimnya akses informasi dan edukasi mengenai minuman beralkohol, karena munculnya pelarangan, merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang mempunyai peranan sangat besar dalam pendidikan keluarga dan anak-anaknya, " katanya.

Kebijakan Kementerian Perdagangan yang melarang penjualan minuman beralkohol, termasuk bir di minimarket mulai pertengahan bulan ini, ditengarai sarat dengan muatan politis sektarian. Kebijakan itu juga dianggap bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menarik investasi dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pariwisata.

Muhammad Ali, profesor studi Islam di University of California, dalam wawancara dengan Bloomberg, mengaitkan munculnya larangan menjual bir di minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya suara kalangan konservatif yang memberi kesempatan kepada para politisi populis Islam maupun politisi sekular memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi.

"(Kebijakan) ini adalah penerapan hukum Syariah secara perlahan  tetapi stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional," kata Muhammad Ali, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale Sales , kemarin (27/3).
Bagi kalangan pers Barat Indonesia sesungguhnya dipandang sebagai negara yang moderat dalam menerapkan hukum Syariah, paling tidak dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah dan Asia Selatan.  Apalagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah koalisi dari partai-partai nasionalis dan partai Islam moderat. Pengecualian hanyalah di Aceh, yang menerapkan versi hukum Syariah yang berbeda.

Kendati demikian, Bloomberg mencatat sejak tahun 1990-an, sejumlah pemerintah daerah telah  mengeluarkan sejumlah peraturan yang bernuansa Syariah yang sasarannya adalah minuman beralkohol disamping peraturan tentang cara berpakaian yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.

Menurut Michal Buehler, pengajar studi Perbandingan Politik di School of Oriental and African Studies University of London, implementasi regulasi yang melarang penjualan bir di minimarket tersebut lebih merupakan peraturan tambal sulam dan  diselubungi oleh praktik berbau suap.

"Ini murni politik simbol," kata dia. "Apa yang Anda lihat sedang terjadi adalah adanya kelompok yang senang main hakim sendiri sedang memperalat hukum untuk mengumpulkan kekuasaan agar terpusat di tangan mereka dan menghancurkan berbagai tempat. Itu yang membuat masalahnya jadi problematis," tutur dia. Buehler tidak menyebut nama kelompok dimaksud.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger